Hibike! Euphonium - Chapter 1
Yoroshiku Euphonium | 11

Bab 01 – Yoroshiku Euphonium!

Siswi-siswi berbaris di gelanggang, mengenakan rok biru tua setinggi lutut yang melengkapi seragam dan kaos kaki putih di bawah garis lutut. Sementara siswa lelaki mengenakan seragam berkerah tinggi, menengok ke kiri-kanan tanpa bisa tenang dan saling bertukar pandangan. Para siswi tidak terlalu memperdulikannya, mereka lebih terfokus mengusap-usap lengan mereka sendiri karena gugup. Sambil memandangi mereka semua, Kumiko melihat ke bawah ke arah tubuhnya sendiri. Seragam sailor berwarna biru tua membungkus dirinya yang ramping. Tampaknya dia percaya bahwa dadanya akan mulai tumbuh setelah masuk SMA. Melihat benjolan terbalut kain di tubuh gadis di sampingnya, Kumiko hanya bisa menghela nafas dalam diam.

SMA Negeri Kitauji terkenal karena seragamnya yang cantik. Bahkan SMA ini punya reputasi tersendiri di antara sekolah lain karena SMA ini hanya satu-satunya sekolah di kota Uji yang berseragam sailor. Meski peringkat akademisnya di atas rata-rata dan presentase kelulusannya tinggi, namun bukan alasan yang lebih memotivasi. Alasan Kumiko memilih sekolah ini, adalah karena seragamnya. Meski bisa masuk ke sekolah lain yang kelasnya sama, dia lebih memilih sekolah yang seragamnya ia sukai. Dengan alasan yang sepele ini, sekarang dia justru memandang aneh dirinya karena merasa tidak cocok mengenakan seragam ini. Belakangan ini Kumiko memang mengharapkan dirinya terlahir dengan tubuh yang lebih molek.

12

seragam ini. Belakangan ini Kumiko memang mengharapkan dirinya terlahir dengan tubuh yang lebih molek.

“Selanjutnya; hymne sekolah. Semua siswa dimohon berdiri.”

Mendengar perkataan Kepala Sekolah, siswa di sekitarnya pun tergerak seketika. Mengikuti gelombang gerakan, Kumiko pun ikut berdiri. Di atas panggung, terpampang spanduk lirik hymne sekolah untuk memandu siswa baru. Saat upacara semasa SMP, tidak ada bagian siswa menyanyikan hymne sekolah, tapi sepertinya berubah di SMA. Berharap dirinya tidak tertinggal, Kumiko perlahan melihat ke sekitarnya. Di sekelilingnya, dia menemukan para siswa baru tampak gugup. Sepertinya mereka juga sedang ragu seperti dirinya.

Di bawah panggung, tampak anggota klub orkes tampak serius menyiagakan alat musik mereka. Yang memegang tongkat dirigen adalah seorang siswi bertampang seram. Di bawah penerangan, euphonium berwarna coklat berkilau. Melihat itu, Kumiko menelan udara. Tangan dirigen mulai berayun. Seketika semua anggota mengangkat wajahnya. Segera kelompok peniup terompet yang berkilauan menghadap ke arah Kumiko. Jelas terdengar suara para pemain alat musik menarik nafas. Sedetik saja tongkat dirigen sampai di atas kepala, dan segera mengayun ke bawah.

“...Suaranya payah.”

Tanpa sadar, kata-kata keluar dari mulutnya. Yang terdengar di telinganya adalah suara musik yang kacau. Rhythm yang tidak harmonis, tempo yang sporadik. Suara alat musik dan gerakan tongkat dirigen yang sama sekali tidak selaras. Sempat terpikir olehnya untuk melanjutkan ikut klub orkes di SMA, tapi mendengar ini, dia mengurungkan niatnya. Jangankan turnamen Kansai, menang emas di turnamen Kyoto juga tidak mungkin.

Sama dengan pemikiran Kumiko, musik pun terus mengalir. Terdengar suara guru turut bernyanyi dari sisi dinding, namun para siswa tidak ikut bernyanyi. Akhirnya simfoni selesai, para siswa pun kembali duduk. Upacara berjalan baik, namun dalam kepala Kumiko, dia memikirkan kecemasan dan harapannya untuk masa SMA; akan masuk klub apa, apa akan menemukan teman atau tidak, wali kelasnya orang seperti apa.

Yoroshiku Euphonium | 13

“Kami lanjutkan; sambutan dari siswa baru. Perwakilan siswa baru; Kousaka Reina.”

Mendengar sebuah nama yang akrab di telinganya, Kumiko segera mengangkat wajahnya. “Baik!” Terdengar suara dingin menggema di gelanggang, dan seraya sesosok anggun mengenakan seragam sailor berdiri. Rambut hitam panjangnya mengkilap, iris besarnya berayun meninggalkan cahaya mata. Punggung tegapnya menanjak muncul, menandakan keberadaannya.

Kousaka Reina.

Dia dan Kumiko berasal dari SMP yang sama, juga berasal dari klub orkes yang sama. Dia berprestasi akademis, memiliki reputasi tinggi di antara para guru, tidak mengejutkan kalau dia menjadi perwakilan siswa baru. Namun orang seperti Reina semestinya bisa diterima di sekolah yang lebih baik, kenapa dia memilih masuk ke sekolah ini? Tidak mungkin dia memilih sekolah ini hanya karena seragamnya seperti Kumiko. Seraya Kumiko memiringkan kepalanya, Reina menghadap tepat ke arahnya. Matanya yang hitam bagai obsidian menatap tepat ke arah Kumiko. Mungkinkah dia menatapku? Tatapan keduanya jelas bersilangan. Meski hanya sesaat, namun bagi Kumiko serasa amat lama. Reina melemaskan bibirnya, seakan tidak terjadi apa-apa, dia mengarahkan pandangannya ke depan. Bibirnya mulai bergerak, dan kata-kata yang dikandungnya pun mengalir. Perwakilan siswa baru. Gelar itu dipikirkannya lagi dan lagi, seraya Kumiko pun menghela nafas.

******

“Hei! Siapa namamu?”

Setelah masuk ke kelas 1-3 dan duduk di bangkunya, terdengarlah sebuah suara. Begitu dia berpaling, Kumiko menemukan seorang gadis berrambut pendek sedang tersenyum menghadapnya. Dari celah bibir tipisnya, gigi putihnya tampak terlihat. Dari kulit kelingnya, jelaslah kalau dia mengikuti dari klub olahraga. Bagi Kumiko, dia adalah jenis orang yang jarang ia hubungi. Seakan menyembunyikan badannya yang gemetar, Kumiko tersenyum tipis.

“Oumae Kumiko.”

14

“Namamu Kumiko, ya? Aku Katou Hadzuki. Mau panggil Katou atau Hadzuki juga boleh.”

Demikian ujar Hadzuki, dia pun menaikkan badannya dari mejanya. Orangnya gampang akrab, ya? Pikir Kumiko seraya menghadap ke arahnya.

“Lalu, Kumiko-chan asalnya dari SMP mana? Jangan bilang dari SMP Higashi.”

“Aku dari SMP Kita.”

“SMP Kita? Jarang-jarang...”

Hadzuki menatap Kumiko seakan terkejut.

“Entah kalau SMP Kitauji bagaimana, tapi banyak yang datang dari SMP Higashi, ya? Aku sendiri dari SMP Higashi, saking banyaknya muka-muka lama jadi tidak terasa kalau aku sudah SMA.”

“Berarti kamu banyak teman di sini. Aku jadi iri.”

“Tidak, kok. Sama sekali tidak. Siapa yang suka kalau banyak yang tahu bagaimana kita semasa SMP? Jadinya sulit memulai hidup baru di SMA, kan?”

“Tidak sebegitunya juga.”

“Buatku iya. Makanya aku batal ingin ganti model rambut.”

“Sebenarnya aku ingin ganti warna rambut jadi merah,” ujar Hadzuki sambil menyisir rambutnya dengan jari. Entah ingin memulai hidup baru di SMA atau apa, tapi aku merasa sama. Pikir Kumiko, namun ia segera menutup mulutnya ketika sadar kalau pikirannya lepas lewat mulutnya.

“Ngomong-ngomong, dari tadi aku penasaran, kenapa kamu pakai bahasa nasional?”note 1

“Hee... Belum tertular logat Kansai?”

“Keluargaku semua pakai bahasa nasional, mungkin cuma jarang. Ah, tapi kata teman-temanku, justru caraku bicara yang menular.”

“Hmm, kalau begitu aku akan hati-hati supaya tidak tertular.”

Yoroshiku Euphonium | 15

Sambil menopang dagunya, Hadzuki berujar sambil tampak berpikir kosong. Dia menarik pipi kanannya, seakan menggambar senyum di wajahnya. Kumiko membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu, namun seakan salah waktu, seorang guru tiba-tiba memasuki kelas. Membawa setumpuk kertas di belakang pinggangnya, wanita ini sulit dibaca sifatnya, namun sepertinya dia bisa hidup lebih dari lima puluh tahun. Setelah ia memindai kelas, ia pun terbatuk membersihkan tenggorokannya.

“Semuanya duduk.”

Dengan tenang dan suara yang memiliki forte, kelas yang ramai seketika menjadi tenang. Siswa-siswi yang tadinya berisik bersuara segera menuju kursi yang sudah ditentukan untuk mereka. “Ah, gawat.” Keluh Hadzuki pelan.

“Sudah SMA masih suka ribut di kelas... Kalian belum dewasa juga. Sekolah menengah sudah bukan pendidikan wajib, sebagai siswa SMA, kalian harus sadar diri!”

Atmosfir kelas yang panas mendadak terasa dingin. Seakan merendahkan, sang wali kelas pun menghela nafas. Tangannya yang kering segera mengambil kapur, dan ia pun menuliskan huruf-huruf putih di papan tulis berwarna hijau.

“Saya wali kelas 1-3 ini; Matsumoto Michie. Mengajar kelas musik dan guru pembimbing klub orkes.”

“Klub orkes?” mendengar kata itu, Hadzuki yang duduk di samping Kumiko terkejut.

“Biar kuperingatkan, di sekolah ini, saya adalah guru paling tegas. Kalian tidak akan kubiarkan bermanja-manja, jadi siapkan mental kalian.”

Demikian ujar Michie sebelum berjalan pelan mengambil sebuah map hitam.

“Sekarang saya pastikan nama kalian. Yang namanya disebut segera menjawab. Asai Yuudai.”

“Saya.”

“Ishikawa Yuki”

“Saya.”

16

Saat SMP, teman-teman sekelas Kumiko hanya menjawab dengan mengangkat tangan santai. Namun di SMA, sepertinya harus dengan menjawab juga. Semakin dewasa semakin terikat dengan aturan, tapi kali ini sepertinya hanya karena guru ini memang seram.

“Oumae Kumiko.”

“...Ah, saya!”

Karena sedang melamun, ia nyaris melewatkan panggilannya. Namun Kumiko yang menjawab dengan panik membuat suasana di kelas agak melenggang. Hadzuki melirik ke arahnya sambil tersenyum mengejek, melihat itu Kumiko menurunkan wajahnya karena malu.

“Katou Hadzuki.”

“Saya!”

“Kawashima… Ryokuki?”

Di sanalah wajah Kumiko pertama kali tampak kebingungan. Di balik daftar absen di hadapan Michie, seorang gadis berrambut halus malu-malu mengangkat tangannya.

“Ma—— maaf. Nama saya Sapphire. Ditulis dengan kanji ‘hijau berkilau’ dan dibaca Sapphire.”

“Sapphire?” seluruh kelas mulai berbisik-bisik membicarakannya. Seakan malu dengan namanya, gadis itu terus menciutkan diri. Punggungnya yang lengkai semakin terkubur di bangkunya.

“Maaf, Kawashima Sapphire. Akan kupastikan tidak akan salah lagi.”

Demikian ujar Michie. Segera ia melanjutkan mengabsen nama. Kelas yang sempat heboh pun segera menenang. Sapphire, ya? Nama yang hanya pantas disandang wanita anggun. Sambil memikirkan itu, Kumiko kembali melayangkan pandangan padanya. Sayangnya, dari belakang dia tidak bisa melihat wajah sang pemilik nama.

Dengan tampang terkejut, Hadzuki berkomentar.

“Sapphire, katanya. Namanya keren, ya?”

Dia punya karakteristik yang unik, ya. Pikir Kumiko.

Yoroshiku Euphonium | 17

******

Hari ini sampai di sini saja. Untuk menghadapi cobaan ke depannya, siapkan usaha terbaik kalian.

Hari pertama kehidupan SMA-nya pun diakhiri oleh ucapan wali kelasnya itu. Bagaimana ini? Sejak tes penerimaan aku belum belajar sama sekali. Tanpa terasa, Kumiko menghela nafas.

“Kumiko, kamu tinggal di mana? Mau pulang sama-sama?”

Saat sedang memasukkan buku pelajaran ke dalam tas, Hadzuki yang sudah siap pulang berdiri tepat di hadapan Kumiko. Dari tas kulit hitamnya, tergantunglah sebuah gantungan kunci berbentuk terompet.

“Aku tinggal di dekat Byoudouin. Searah?”

“Searah, kok. Aku tinggal di Keihan, jadi aku turun di Oubaku.”

“Ooh, berarti rumah kita tidak terlalu jauh.”

Sembari menjawab, Kumiko kembali berdiri. Di tas Kumiko tidak ada hiasan apapun. Dia tidak begitu suka dengan gantungan-gantungan seperti itu.

“Hadzuki, di SMP ikut klub orkes? Di tasmu ada corong suara.”

Kumiko menunjuk ke arah gantungan tas Hadzuki. Sambil tertawa cekikikan, Hadzuki menggelengkan kepalanya.

“Tidak, kok. Di SMP aku habis-habiskan mengabdi untuk klub tenis.”

“Kamu memang terkesan anggota klub olahraga, sih.”

“Dari kulitku yang keling juga sudah jelas, kan? Kulitku terbakar gara-gara kebanyakan latihan. Alaminya kulitku lebih putihan.”

Sambil tertawa, Hadzuki memperlihatkan kulitnya di bawah lengan seragamnya. Di satu titik di lengannya, warna kelingnya membatas menjadi putih. Sepertinya ini yang disebut terbakar sebatas seragam.

“Ah, tapi di SMA aku berencana masuk klub orkes. Sepertinya menarik.”

“Masa? Di SMP aku ikut klub orkes, lho.”

18

“Serius? Mau lanjut di SMA?”

“Masih belum pasti.” Saat ingin membuka mulut untuk menjawab, dia berhenti untuk memilih kata-kata lain.

“Maaf, kalian berdua berniat bergabung dengan klub orkes?”

Wajah Hadzuki dan Kumiko mendadak tertarik ke arah sumber suara. Di sana berdirilah seorang gadis berrambut halus. Gadis yang namanya sekali didengar tidak akan pernah terlupakan; Kawashima Sapphire. Gadis bernama unik ini berdiri dengan wajah ramah.

“Ah, Sapphire-chan!”

Tanpa rasa bersalah, Hadzuki menyebut namanya. Seketika wajah gadis itu memerah seperti gurita rebus.

“Ah, kalau boleh... jangan panggil aku dengan nama itu.”

“Eh? Kenapa?”

“Aku tidak suka. Aku malu.”

“Padahal Sapphire itu nama yang keren. Aku suka, kok.”

“Ada yang suka ada yang tidak. Kebanyakan pasti salah baca namaku, makanya aku malu.”

Sambil berkata demikian, Sapphire menurunkan matanya. Dalam hatinya, Kumiko setuju. Kalau dia juga bernama seperti itu, dia juga pasti akan malu.

“Karena itu, panggil saja dengan Midori.”

“Midori, ya! Oke, aku mengerti!”

Hadzuki mengangguk mengerti dan menepuk-nepuk punggung Sapphire dengan kuat. Mungkin dia memang suka ber-skinship. Tubuh Sapphire yang lengkai terguncang-guncang akibat tepukan Hadzuki.

“Jadi, Midori asalnya dari SMP mana? Mau pulang sama-sama?”

“Boleh, kah?”

Sapphire memandang ke arah Kumiko seketika. Kumiko tersenyum simpul dan mengangguk tegas mengatakan “tentu saja.”

Yoroshiku Euphonium | 19

******

Sekeluarnya di pintu depan, terasa dingin yang menusuk kulit. Pohon sakura yang mengelilingi gedung sekolah sudah mulai menjatuhkan bunga-bunganya. Dari dahan-dahannya yang ramping tumbuhlah kuncup-kuncup bunga hijau. Entah apakah para siswa yang berlalu-lalang tidak terlalu memperhatikan daun sakura yang bertebaran atau memang tidak tertarik. Bagi Kumiko, para siswa berseragam sama seakan tampak memiliki wajah yang sama.

“Midori asalnya dari SMP Seijo, SD dan SMP-ku swasta terus.”

Sambil menenteng tas di pundaknya, Sapphire tertawa kecil. Mendengar nama Akademi Seijo, Kumiko pun tanpa sadar berkomentar.

“Seijo itu sekolah juara bertahan di turnamen orkestra, kan?”

Mendengar komentar Kumiko, wajah Hadzuki berubah terkejut.

“Masa?”

“Sekolahnya benar-benar luar biasa, mereka langganan juara di turnamen nasional.”

“Hee! Betulan luar biasa.”

Mendengarnya, Sapphire menggaruk kepalanya seakan malu. Helaian rambutnya yang lembut tampak tembus pandang terkena cahaya matahari.

“Yang hebat bukan Midori, Kami hanya memiliki guru pembimbing yang kompeten.”

“Memang ada hubungannya antara konser dan guru pembimbing? Yang aku lihat semuanya hanya memainkan alat musik sesuai hati.”

“Bukan sesuai hati. Sama saja seperti pelatih yang mengawasi di klub olahraga, kalau ada pelatih yang baik, klub orkes juga akan jadi lebih baik.”

“Hee, begitu rupanya.”

20

Mendengar penjelasan Kumiko, Hadzuki mengangguk kagum. Sembari berjalan, beberapa kali mereka menginjak kerikil, dan tiap kalinya terdengar suara berdecit dari bawah sepatu. Begitu ratanya jalanan yang dilapisi aspal hingga sulit menemukan rumput.

“Midori pegang instrumen apa?”

“Dari dulu Midori... se~lalu ingin memainkan contrabass.”

“Contrabass? Apa itu?”

Mendengar pertanyaan Hadzuki, Sapphire menggempungkan pipinya.

“Alat musik sejenis violin besar! Pokoknya keren, deh!”

“Ooh, begitu.”

Seakan kalah dengan ketegasan Sapphire, Hadzuki mengangguk. Sambil bertatapan dan berjalan beriringan, Kumiko juga mulai menjelaskan tentang contrabass. Dibandingkan dengan Kumiko, tinggi Sapphire lebih pendek sekitar 10 sentimeter, tingginya hanya sekitar 150 senti lebih. Karena itulah Kumiko tidak bisa membayangkan orang sepertinya memainkan instrumen besar yang tingginya dua meter lebih itu.

“Kalau Kumiko-chan?”

“Eh?”

“Dulu Kumiko-chan pegang instrumen apa? Waktu SMP ikut klub orkes, kan?”

Saat sedang melamun, entah sejak kapan Sapphire sudah berdiri di sampingnya. Kumiko merasa gemas melihatnya menatap dirinya seperti ini karena ia jadi terbayang seperti ditatap binatang kecil.

“Dulu aku pegang euphonium.”

“Ooh! Euph!”

“Apa itu UFO?”

Mata Sapphire berkaca-kaca mendengar perkataan Kumiko, namun Hadzuki justru tampak bingung. Dia pasti belum pernah tahu kalau ada alat musik bernama euphonium. Namun meski begitu, Kumiko sudah terbiasa melihat reaksi yang dilontarkan Hadzuki.

“Bukan UFO, tapi euphonium; alat musik untuk nada rendah. Tapi yaah, alat musik ini terbilang minor.”

Yoroshiku Euphonium | 21

“Hmmm... Kalau aku tentunya ingin alat musik yang banyak diliht orang. Trompet misalnya, atau saxophone.”

“Mau bagaimana lagi kalau begitu maumu. Alat musik nada rendah memang sederhana, tapi banyak. Sebelum masuk klub orkes, Midori juga sempat ingin memainkan flute.”

Seraya mengatakan itu, Sapphire melepas tawa pahit. Kumiko juga merasa kalau dibandingkan dengan contrabass, dia lebih cocok memainkan flute.

“Midori ingin lanjut bergabung dengan klub orkes di SMA?”

“Hm, iya.”

Kumiko sedikit terhenyak mendengarnya menjawab ringan, sementara mata Hadzuki berkaca-kaca kegirangan.

“Kalau begitu kita satu klub, ya!”

“Tapi klub orkes sekolah ini... bagaimana, ya...”

Kumiko tergagap mencari kata yang tepat dalam benaknya, namun Sapphire sudah tahu apa yang ingin dikatakannya.

“Mereka konsernya payah, ya?”

“Masa? Buatku biasa-biasa saja.”

Hadzuki memiringkan kepalanya.

Tingkatan untuk konser klub orkes SMA terus meningkat tiap tahunnya. Tentunya musik yang didengar Kumiko dan Sapphire yang berpengalaman berbeda dengan Hadzuki yang belum berpengalaman.

Mendengar responnya, Sapphire tertawa.

“Dengan kemampuan yang sekarang, mungkin mereka bisa menang perak di turnamen antar-kota. Tapi di tingkat provinsi, menang emas liplap pun sepertinya tidak mungkin.”

“Emas liplap itu apa?”

“Peserta turnamen Kansai diambil dari juara yang menang emas di turnamen antar-kota. Nah, juara emas yang tidak maju ke turnamen berikutnya disebut emas liplap.”

22

Mendengar kata itu, Kumiko merasa berat. Mencoba mengalihkan pembicaraan, Kumiko bertanya pada Sapphire.

“Midori lulusan Seijo, kan? Di sana latihan klubnya berat, tidak?”

Gadis di hadapannya itu menjatuhkan dagunya, “memang benar,” terdengar jawaban dengan suara lemas darinya.

“Seandainya Midori bisa memilih alat musik dan tanpa memikirkan tingkat kemampuan, bagaimana kalau kita hanya ikut untuk kesenangan?”

“Boleh juga.”

“Kumiko-chan juga ingin bergabung dengan klub orkes, kan?”

“Eh?”

Seakan tidak tahu jawabannya, kata-kata tertahan dalam benak Kumiko. Dia belum memutuskan akan bergabung dengan klub apa. Namun ia juga ragu untuk mengatakan demikian. Dalam sekejap, terjadi keheningan di antara mereka. Hadzuki pun melilitkan tangannya ke pundak Kumiko untuk memecah keheningan.

“Kumiko juga akan bergabung, kan?”

Hadzuki bertanya dengan sederhana. Siapapun yang ditanya dengan ekspresi seperti itu tentunya tidak akan punya kuasa untuk menolak. Kumiko tersenyum kaku, dia menyerah dan mengangguk.

“Y—— Ya, aku akan bergabung.”

Mendengar jawaban itu, Sapphire tersenyum lebar puas.

“Baguslah, aku sudah cemas takut-takut tidak ada teman satu klub.”

“Kalau begitu mohon bantuannya, ya!”

Hadzuki berseru dengan penuh semangat. Melihat kedua temannya tertawa, Kumiko berharap semoga pilihannya tidak salah. Mungkin tidak ada salahnya kalau memilih karena orang lain. Pikir Kumiko sambil mengingat konser klub orkes saat upacara penerimaan siswa baru. Diam-diam dia pun menghela nafas.

Yoroshiku Euphonium | 23

******

Begitu turun di stasiun Keihan, terdapat sebuah jembatan. Jembatan itu adalah jembatan Uji. Siapapun yang melihat jembatan merah di Tou no Shima dari atas jembatan ini akan bisa menemukan pemandangan indah seperti di tempat wisata. Jika menyebrangi jembaran dan berbelok ke kiri, maka akan sampai ke plaza Byoudouin. Jalanan yang dipenuhi antrian kedai teh dan warung jajanan ini adalah tempat yang paling disukai Kumiko. Mencium aroma daun teh kering yang terbawa angin saja sudah membuat dirinya terbawa perasaan. Setelah mengikuti jalanan setapak yang dilapisi bebatuan, ia sampai di Byoudouin. Namun karena tidak ada yang boleh masuk tanpa membayar biaya masuk, dia tidak melihat kuil di dalamnya.

“Ternyata kamu masuk ke SMA Kitauji juga.”

Dari belakang Kumiko yang sedang berjalan dengan gembira, tiba-tiba terdengarlah sebuah suara. Dia merasa punggungnya didorong. Merasakan badannya terguncang, Kumiko pun segera berbalik.

“Ngapain, sih? Datang-datang langsung...”

“Tidak, kok. Kebetulan aku melihatmu di sini.”

Yang menjawab dengan suara tanpa rasa bersalah itu adalah teman Kumiko sejak kecil; Tsukamoto Shuuichi, seorang pemuda berperawakan tinggi ramping sekitar 160 senti lebih. Sejak SMP, dia dan Kumiko mengikuti klub orkes bersama-sama, dan entah takdir atau apa, selama tiga tahun mereka selalu satu kelas. Namun di SMA, karena kelas IPA dan IPS dipisah, tentunya mereka jadi tidak sekelas lagi.

“Kamu tidak bilang mau masuk ke SMA Kitauji.”

“Memang kenapa?”

“Kalau orang lain biasanya bilang, kan? Namanya juga satu sekolah.”

“Hmm? Biasanya?”

Setengah menjawab, Kumiko berpaling. Mengikuti pagar anyaman sepanjang jalan Byoudouin dan sungai Kitauji, mereka pun sampai di apartemen tempat tinggal Kumiko.

“Tunggu dulu!”

24

Dengan agak panik, Shuuichi mempercepat langkahnya hingga sampai di samping Kumiko. Dia dan Kumiko memang tinggal di bangunan yang sama.

“Kamu marah kenapa, sih?”

“Marah kenapa? Serius tanya begitu?”

Tanpa melihat ke arah Shuuichi, Kumiko membalik pertanyaannya. Shuuichi pun menyilangkan tangannya kebingungan.

“Aku tidak salah apa-apa, kan?”

“Oh, begitu. Ya sudah, sampai nanti.”

Melihat Kumiko yang meninggalkannya tanpa mempedulikan dirinya lagi, Shuuichi segera menangkapnya.

“Tunggu dulu! Jangan acuhkan aku begini!”

“Kalau begitu, minta maaf soal yang dulu.”

“Apaan, nih? Kejam banget.”

“Siapa yang kejam?”

“Jangan bohong.”

Shuuichi menghela nafas karena terkejut. Pemuda berseragam hitam kerah tinggi itu sudah jadi lebih tinggi dibandingkan dengan saat SMP, padahal dulu dia tidak lebih tinggi dari Kumiko. Kesal karena dia tidak bisa memandang matanya tanpa mengangkat wajahnya, Kumiko menepak punggungnya sekuat tenaga. Dan Shuuichi pun mengaduh, namun terdengar dipaksakan.

“Waktu kelas tiga SMP, kamu bilang begini, kan? ‘Jangan mengajakku bicara, Jelek.’”{the anohana conundrum}

“Oh, itu... Aku...”

Mendengar perkataan Kumiko, Shuuichi merinding. Dia teringat dengan perkataannya sendiri. Sekali lagi Kumiko pun menepak punggungnya.

“Apa maksudmu waktu itu?”

Yoroshiku Euphonium | 25

“Habis waktu itu kamu asal tanya ‘hari ini mau makan sama-sama?’ di depan teman-temanku, sih. Namanya, laki-laki puber, aku harus jaim.”

“Alasan apa itu? Jadi kamu tidak mau ketahuan makan bersamaku?”

“Bukan tidak mau ketahuan, sih... tapi aku hanya sedikit malu saja.”

“Ah begitu aku mengerti ya sudah jangan dekati aku lagi.”{Better left without punctuation marks}

“Tidak usah begitu juga. Lagipula kenapa, sih? Kan sudah setahun. Maafkan aku. Ibuku juga cemas. ‘Belakangan Kumiko jarang main,’ katanya.”

“Kalau kamu minta maaf, mungkin aku pikirkan.”

“Iya, iya. Aku minta maaf.”

“Akh, malah bikin tambah kesal.”

Tanpa mencoba menyembunyikan kekesalannya, kumiko mengerutkan alisnya. Sementara Shuuichi terus meminta maaf dengan telapak tangan yang disatukan. Namun baginya, lelaki yang meminta maaf terus-menerus seakan takluk amatlah lucu. Seperti menyerah, Kumiko pu menghela nafas.

“Sudah, deh. Permintaan maafmu bikin susah.”

“Oh! Jadi kamu terima?”

“Aku tidak bilang begitu, ya.”

“Ah.”

Melihat lelaki meringis di hadapannya, Kumiko mendengus pelan. Dia memindahkan tas berisi buku pelajarannya ke pundak kirinya, berhenti berjalan cepat, dan sedikit mengangkat pundaknya.

“Ngomong-ngomong, kamu mau masuk klub mana?”

Lega karena topik pembicaraan berubah, wajah Shuuichi berubah cerah. Sepatu sneakersnya yang kelihatannya dipilihkan oleh ibunya membuat suara tajam saat melangkah di atas jalanan berbatu.

“Saat ini aku masih belum yakin.”

“Paling mau masuk klub orkes lagi, kan?”

“Jangan bilang ‘lagi’. Memangnya kamu sendiri mau masuk ke mana?”

26

“Aku? Aku... mungkin ingin masuk klub orkes.”

“Klub orkes lagi? Katanya...”

“Tadinya aku tidak ada rencana ingin masuk.”

Kumiko mengkakukan pundaknya.

“Lalu kenapa sekarang jadi mau?”

Shuuichi memandanginya dengan sebelah wajah, namun Kumiko menghindari tatapannya. Dia menghindari menjawab dengan tertawa kecil. Tapi hanya dengan itu, teman sejak kecil pasti sudah tahu apa maksudnya.

“Jangan-jangan gara-gara ada teman yang mengajak?”

“Yaah, mungkin karena itu.”

“Sebaiknya rubah sifatmu itu. Kalau kamu tidak bisa mengutarakan pikiran, bisa susah, lho.”

“Aku tahu.”

Tahu dirinya sedang diceramahi, Kumiko menutup mulutnya. Karena menurutnya “tidak menarik.”

“Tapi kalau kamu mau bergabung, aku juga akan masuk. Mau pilih instrumen apa?”

Shuuichi berujar dengan ringan seraya merenggangkan badannya. Lengannya sedikit memanjang keluar dari lengan seragamnya. Seperti kucing, pikir Kumiko.

“Jadi kamu memutuskan klub begitu saja?”

“Apa salahnya? Aku tidak kuat olahraga, dan sepertinya tidak ada pilihan lain.”

“Owh.”

Mencoba berkomentar tanpa terkesan dingin, Kumiko berbisik. Loafers coklat tua miliknya berkilap lemah di bawah lembayung senja. Pemuda di hadapannya tertawa ringan, dan mereka pun membicarakan hal lain. Ngomong-ngomong, di kelasku ada perempuan yang cantik sekali. Mendengar itu, Kumiko pun menendang kuat-kuat punggung Shuuichi.

Yoroshiku Euphonium | 27

******

Saat kegiatan klub sudah bisa dimulai dengan efektif, sudah dua minggu berlalu dari upacara penerimaan siswa baru, sekitar akhir bulan April. Siswa baru yang ingin bergabung dengan klub orkes berkumpul di ruang musik. Mereka terduduk dengan tampang gugup, dan berdiri di sekitar mereka adalah anggota klub senior. Di antara mereka, terdapat sesosok siswi berwajah seram yang menjadi dirigen saat upacara penerimaan siswa baru.

“Ketua, sepertinya tidak ada lagi yang datang.”

Siswa yang membawa klarinet berbisik padanya. Kumiko menengok untuk melihat ke sekitarnya, siswa yang sedang duduk ada sekitar 30 orang, di antaranya ada beberapa siswa yang dia kenali.

“Yeah, segini juga lumayan.”

Siswi yang dipanggil Ketua itu pun mengusap dagunya sambil memikirkan sesuatu. Di bawah lehernya dia membawa sebuah saxophone yang berukuran agak besar. Bariton saxophone. Dia berjalan ke depan kelas, dan mulai menarik nafas dalam-dalam.

“Semuanya, perkenalkan. Saya ketua klub orkestra; Ogasawara Haruka. Posisi di bariton saxophone. Yang bergabung di bagian saxophone akan sering bertemu denganku.”

Demikian ujar Ogasawara seraya tersenyum simpul. Suaranya tegas, cocok dengan jabatannya.

“Klub orkes ini memiliki sejarah panjang, sekitar sepuluh tahun lalu SMA ini dikenal sebagai sekolah juara bertahan. Juga pernah tampil di turnamen nasional. Meski sekarang sepertinya masih agak jauh.”

Di dinding ruang musik, terpajang tropi-tropi prestasi klub orkestra. Berulang kali tampil di turnamen Kansai, juara emas di turnamen nasional... Foto-foto yang terpajang tinggi tampak sudah berumur, menyedihkan melihat sejarah menjadi berdebu seperti ini.

“Mulai tahun ini, guru pembimbing kami diganti. Tahun kemarin kami dibimbing oleh Rikako-sensei. Tahun ini beliau mengambil cuti hamil. Sebagai gantinya klub ini diberikan guru pembimbing baru, kami sendiri belum mengenal gurunya seperti apa. Waktu upacara pembukaan semester, beliau diperkenalkan sebagai Taki-sensei. Beliau akan hadir hari ini, tapi sedikit terlambat. Selain itu wakil pembimbing Michie-sensei juga sedang menghadiri pertemuan wali murid dan tidak bisa hadir di kegiatan klub kita hari ini. Untuk para siswa tahun pertama, kami beritahu, beliau memang sangat menakutkan, jadi jangan sampai membuat beliau marah.”

28

semester, beliau diperkenalkan sebagai Taki-sensei. Beliau akan hadir hari ini, tapi sedikit terlambat. Selain itu wakil pembimbing Michie-sensei juga sedang menghadiri pertemuan wali murid dan tidak bisa hadir di kegiatan klub kita hari ini. Untuk para siswa tahun pertama, kami beritahu, beliau memang sangat menakutkan, jadi jangan sampai membuat beliau marah.”

Michie-sensei juga adalah wali kelas Kumiko. Sepertinya dia memang menakutkan.

“Untuk hari ini, kita akan membagi alat musik. Senior yang sejak tadi berkelling akan menjelaskan instumennya masing-masing. Sekarang kami akan memperkenalkan berbagai alat musik yang dipergunakan. Mereka yang baru bergabung silahkan mulai memikirkan alat musik apa yang akan dipilih. Selain itu, bagi yang sudah berpengalaman bisa melaporkan diri. Karena ada beberapa kriteria sebelum bisa disebut cocok memainkan suatu instrumen, maka kami juga akan memberi penilaian. Mohon untuk tidak mengeluh seandainya tidak mendapatkan instrumen yang sesuai dengan keinginan.”

Demikian jelas Ogasawara, para siswa di sisi ruangan pun mulai dipanggil. Yang pertama maju adalah seorang siswi yang membawa terompet. Rambut hitam halusnya mengingatkan pada Reina, namun caranya memberi penjelasan sangatlah berbeda. Tingkahnya agak ceroboh, mungkin cukup untuk membuat laki-laki ingin mendekatinya. Saat dia sedang memperkenalkan alat musiknya, dia menunduk dan beberapa kali melirik ke arah Ogasawara. Mungkin dia gugup. Samar-samar tampak pipinya merona.

“Saya pemimpin bagian terompet; Nakaseko Kaori. Terompet adalah bintang di antara instrumen tembaga, tanpa dijelaskan pun saya yakin kalian sudah mengerti. Ada enam orang yang mengisi bagian terompet, bisa dibilang kami saling akrab satu sama lain. Seringkali kami mendapat bagian solo dan melodi, jadi kami yakin kalian akan suka berada di bagian ini. Kami menerima calon yang berpengalaman ataupun tidak. Semoga kalian mempertimbangkan untuk masuk ke bagian terompet.”

Mendengar penjelasannya selesai, semuanya bertepuk tangan. Setelah Kaori, perkenalan instrumen pun terus berlanjut. Trombone, horn, flute, saxophone, klarinet, oboe{lembang}, perkusi... Saat penjelasan alat musik major seperti flute atau saxophone, para siswa seperti memperhatikan dengan baik, namun saat alat musik minor, perhatian berkurang. “Semasa SMP aku memainkan euphonium, mungkin sekarang aku akan memilih instrumen lain,” pikir Kumiko seraya melayangkan pandangan ke luar jendela. Dari ruang musik yang berada di ujung lantai ketiga gedung sekolah, lapangan olahraga bisa jelas terlihat. Di sana anggota klub baseball dan klub sepakbola sedang meneriakkan sesuatu yang kurang jelas terdengar sambil berlarian ke sana-kemari. Kumiko tidak terlalu menyukai orang-orang yang bermain di pesta olahraga. Alasannya karena dia tidak bisa memahami apa isi kepala mereka.

Yoroshiku Euphonium | 29

major seperti flute atau saxophone, para siswa seperti memperhatikan dengan baik, namun saat alat musik minor, perhatian berkurang. “Semasa SMP aku memainkan euphonium, mungkin sekarang aku akan memilih instrumen lain,” pikir Kumiko seraya melayangkan pandangan ke luar jendela. Dari ruang musik yang berada di ujung lantai ketiga gedung sekolah, lapangan olahraga bisa jelas terlihat. Di sana anggota klub baseball dan klub sepakbola sedang meneriakkan sesuatu yang kurang jelas terdengar sambil berlarian ke sana-kemari. Kumiko tidak terlalu menyukai orang-orang yang bermain di pesta olahraga. Alasannya karena dia tidak bisa memahami apa isi kepala mereka.

“Kalau begitu, selanjutnya euphonium.”

Mendengar suara Ogasawara, Kumiko tersadar dari lamunannya. Naik ke depan kelas seorang siswi bertubuh tinggi mengenakan kacamata merah kehijauan membawa Euphonium berwarna perak. Dialah yang mengarahkan tongkat konduktor saat di upacara penerimaan. Mungkin karena matanya yang sipit, dia tampak memberikan kesan yang intelek. Dia memperbaiki posisi kacamatanya dan mulai membuka mulutnya.

“Pemimpin instrumen nada rendah; Tanaka Asuka. Alat musikku seperti yang terlihat; adalah euphonium.”

“UFO?” Komentar para siswa yang belum berpengalaman seraya memiringkan kepala. Sepertinya Asuka sudah memprediksi reaksi ini, dia pun mengangguk kuat-kuat sambil menjawab, “Ya!”

“Euphonium menunjuk pada alat musik sejenis tuba yang suaranya diatur lewat katup piston. Hingga saat ini, belum jelas sejarah dan asal-usulnya. Ada yang bilang kalau euphonium adalah hasil penyempurnaan sommerophone yang diusulkan concerto master asal Weimar bernama Ferdinand Sommer. Ada juga yang bilang kalau euphonium adalah hasil eksperimen perluasan dan pemasangan piston pada alat musik saxhorn oleh musisi asal Belgia; Andolphe Sax, dan dikembangkan lagi di Inggris hingga menjadi euphonium modern yang dikenal saat ini. Pada awalnya dikenal dengan nama ‘euphonion,’ nama ini berasal dari bahasa Yunani ‘euphonos’ yang berarti ‘gema yang terdengar indah.’ Sesuai arti namanya, euphonium bisa membuat banyak variasi suara rendah, namun juga alat musik yang bersuara lembut. Di Jepang, euphonium tidak banyak mencetak sejarah, namun tercatat bahwa euphonium pertama kali masuk dari Inggris pada era Meiji tahun ketiganote 2. Para taruna militer sempat menerima pelatihan a la Inggris, namun kebetulan di tahun yang sama angkatan laut dan darat mulai dipisahkan, dan setelah itu barulah angkatan laut baru diberi pelatihan a la Inggris——dan setelah itu pelatihan a la Jerman. Sementara itu, untuk memberi angakatan darat pelatihan a la Prancis, diperkenalkanlah mereka pada alat musik seperti euphonium, bariton, petit bass, dan berbagai alat musik lainnya. Meskipun jika digambarkan, dari semua alat musik upacara Prancis yang tersisa yang bisa dipakai hanya saxhorn, namun di jaman itu angkatan laut, sekolah musik, berbagai teater musik, dan klub orkes di pendidikan umum, diarahkan menggunakan bariton atau euphonium sesuai doktrin upacara Jerman yang dipegang sang pelatih. Namun dengan masuknya penyebaran sekolah band setelah sekutu dikalahkan Amerika di Perang Dunia Kedua, alat musik bernama euphonium dengan sistem piston mulai umum dipergunakan. Setelah itu——”

30

sempat menerima pelatihan a la Inggris, namun kebetulan di tahun yang sama angkatan laut dan darat mulai dipisahkan, dan setelah itu barulah angkatan laut baru diberi pelatihan a la Inggris——dan setelah itu pelatihan a la Jerman. Sementara itu, untuk memberi angakatan darat pelatihan a la Prancis, diperkenalkanlah mereka pada alat musik seperti euphonium, bariton, petit bass, dan berbagai alat musik lainnya. Meskipun jika digambarkan, dari semua alat musik upacara Prancis yang tersisa yang bisa dipakai hanya saxhorn, namun di jaman itu angkatan laut, sekolah musik, berbagai teater musik, dan klub orkes di pendidikan umum, diarahkan menggunakan bariton atau euphonium sesuai doktrin upacara Jerman yang dipegang sang pelatih. Namun dengan masuknya penyebaran sekolah band setelah sekutu dikalahkan Amerika di Perang Dunia Kedua, alat musik bernama euphonium dengan sistem piston mulai umum dipergunakan. Setelah itu——”

“Yak, cukup! Asuka, boleh saja kalau mau membacakan artikel Wikipedia di sini, tapi setidaknya bacakan rangkumannya saja.”

Penjelasan Tanaka Asuka yang seakan tiada akhir dihentikan oleh ketua klub. Meski para senior tampak memasang tampang serius, namun sepertinya seperti inilah kepribadian Asuka normalnya. Penjelasan Asuka yang dihentikan di tengah membuatnya menggembungkan pipi tak puas.

“Tapi aku masih belum menjelaskan kelebihan euphonium!”

“Iya, iya. Cukup. Berikutnya! Dari bagian tuba, dipersilahkan.”

“Tapi penjelasanku belum selesai!”

Sambil tampak tak puas, Asuka dikawal menuju sisi kelas. “Kenapa dia bisa jadi pimpinan bagian?” Pikir Kumiko mempertanyakan masalah yang paling jelas.

“...Saya dari bagian tuba, nama saya... Gotou Takuya.”

Yang menggantikan Asuka di depan kelas adalah seorang lelaki berbadan tinggi, ke atas dan ke samping. Dibandingkan dengan Asuka yang peleter, lelaki ini tampak suram. Lelaki berrambut hitam dan berkacamata ini menggendong sebuah alat musik tembaga yang ukurannya beberapa kali lipat lebih besar dari euphonium; sebuah tuba.

“Tuba adalah... alat musik alat musik nada rendah, jarang memainkan melodi, juga sederhana. Selain itu, beratnya sekitar 10 kilo. Panjang total pipanya sekitar enam meter. Dalam marching band, yang dipakai adalah tuba putih bernama sousaphone, yang juga cukup berat...”

Yoroshiku Euphonium | 31

Panjang total pipanya sekitar enam meter. Dalam marching band, yang dipakai adalah tuba putih bernama sousaphone, yang juga cukup berat...”

“...”

“...”

“Eh? Sudah?”

Ogasawara membuka matanya dengan terkejut. Takuya membalas dengan anggukan bimbang.

“Ya. Sekian...”

“Tunggu dulu, Gotou! Kamu sama sekali tidak menyampaikan kelebihan tuba! Sebagai gantinya biar aku—Tanaka Asuka—yang memperkenalkan tuba——”

“Iya, iya. Kamu diam.”

Usulan yang dilontarkan Asuka sambil melakukan gestur hormat segera ditolak oleh Ogasawara.

“Sebenarnya, di bagian nada rendah ada satu lagi alat musik yang disebut contrabass, tapi sayangnya tidak ada yang mengisi bagian ini karena senior kelas tiga yang mengisinya sudah lulus tahun kemarin. Jika ada yang berpengalaman dengan contrabass, mohon pertimbangkan untuk mengisinya.”

“Yang disebut contrabas adalah...!” tiba-tiba Asuka menyelip masuk. “alat musik senar yang ukurannya lebih besar dari Ogasawara.” Mendengar itu, para siswa yang belum berpengalaman berseru kagum.

“Apa ada yang bisa mengisi contrabass?”

Ogasawara memindai kelas. Mendengar pertanyaan Ketua, sebuah tangan perlahan mengangkat di tengah kelas. Tangan itu adalah tangan Sapphire.

“S—saat SMP, saya mengisi posisi contrabass.”

Begitu melihat sosoknya, mata Asuka mulai berkilauan. Dia menyerahkan alat musiknya ke Ketua dan segera berjalan menghampiri Sapphire. Seakan takluk dengan keberadaan Asuka, Sapphire terpaku dengan wajah kaku. Asuka menarik tangan Sapphire dan menggenggamnya erat-erat. Wajah Asuka melayang mendekati Sapphire dari samping, dan perlahan melilitkan tangannya ke pundak Sapphire.

32

menggenggamnya erat-erat. Wajah Asuka melayang mendekati Sapphire dari samping, dan perlahan melilitkan tangannya ke pundak Sapphire.

“Kamu benar mau?”

Dengan suara rendah dan memikat yang ikut membuat Kumiko tergoda, Sapphire yang menatapi wajah senior di hadapannya dengan wajah terpikat tersentak sadar, dan pipinya pun merona vermilion.

“Y—Ya. Kalau Midori dirasa bisa, dengan senang hati akan kulakukan.”

“Serius?! Asyik! Kami tertolong!”

Wajah Asuka yang serius mendadak hilang entah ke mana, digantikan oleh senyum lebar tanpa beban. “Aah, jadi ini jurus penggodanya, ya?” Pikir Kumiko diam-diam menganalisa.

“Kalau begitu, Haruka. Dia aku ambil, ya!”

“Iya, deh. Terserah kamu.”

Ujar Ketua sambil melambai-lambaikan tangannya setelah menaruh alat musik Asuka. Setelah itu dia mengambil buku catatan yang ada di atas piano. Buku catatan tipis yang berisikan daftar nama anggota klub tampak usang akibat terlalu sering dipakai.

“Kalau begitu, silahkan mulai memilih ingin masuk bagian mana. Karena menanyakan satu-per satu akan makan waktu, silahkan hampiri perwakilan alat musik yang ingin diisi masing-masing. Jika tidak diterima, lanjutkan ke pilihan alat musik kedua. Sekian dari saya, semoga berhasil.”

Melihat arahan tangan Ogasawara, siswa kelas satu mulai bergerak.

“Kumiko, kamu mau ambil alat musik apa?”

Hadzuki yang terduduk di belakang Kumiko memalingkan wajahnya ke arah Kumiko.

“Hmm, aku juga belum tahu.”

Setelah menjawab dengan lemah, Kumiko melirik ke arah Asuka. Sapphire yang sudah memilih contrabass tampak seperti menjadi mainan Asuka, Kumiko melihat Asuka menarik-narik pipi Sapphire. Takuya yang berdiri di sampingnya hanya bisa mencoba menenangkan Asuka dengan wajah datar.

Yoroshiku Euphonium | 33

berdiri di sampingnya hanya bisa mencoba menenangkan Asuka dengan wajah datar.

“Senior itu orangnya menarik, ya?”

Komentar Hadzuki girang.

“Bagian nada rendah rasanya terkesan berat buatku.”

“Masa? Menurutku tergantung sifat orang yang memilihnya.”

“Masa iya?”

“Aku tipe orang yang lebih ingin diperhatikan daripada mendukung di belakang, mungkin aku akan memilih terompet yang kelihatannya keren.”

Demikian Hadzuki berujar seraya menunjuk ke arah Kaori. Di bagian terompet, tampak banyak gadis-gadis yang terkesan ramai berkumpul.

“Aku akan ikut mengantri dulu, ya.”

Setelah tersenyum simpul, Hadzuki segera bergabung dengan antrian siswa yang ingin bergabung dengan bagian terompet. Kebanyakan siswa sudah menentukan ke bagian mana mereka akan bergabung. Yang masih bimbang akan ke mana di tengah kelas hanya Kumiko seorang. “Aku harus ke mana?” Pikir Kumiko sambil menghela nafas. “Aku ingin memainkan alat musik ini.” “Aku ingin pakai yang ini.” Kumiko tidak memikirkan hal seperti itu. “Seandainya aku bisa dimasukkan ke alat musik sisa, aku tidak perlu bingung memikirkan ini.” Sambil masih mencari tujuan, Kumiko menjatuhkan wajahnya. Baginya dia merasa seperti mencari jalan di peta kota tak bernama.

“Bingung ingin memilih alat musik apa?”

Mendengar sebuah suara tiba-tiba, wajah Kumiko berubah terkejut. Begitu sadar, di hadapannya sudah ada wajah Asuka. Kumiko terkejut sampai nyaris melompat.

Asuka memperbaiki kacamatanya lalu ia terus menatap Kumiko. “A— ada apa?” Ujar Kumiko sambil mundur selangkah.

“Bagianku belum ada yang menghampiri sama sekali.”

“Aah...”

34

Sambil bicara dengan santai, Asuka mengerutkan keningnya. Senior di hadapan Kumiko menyilangkan tangannya lalu menghela nafas.

“Bagianku belum ada yang menghampiri sama sekali.”

“Iya, tapi saya sudah dengar.”

“Bagianku, ya, belum ada yang menghampiri———”

“Kenapa kalimat yang sama diulang tiga kali?”

Merasa tidak tahan, Kumiko tanpa sadar memotong perkataan Asuka. Asuka memicingkan matanya dan menyisir rambutnya dengan jari.

“Kamu ga peka, ya? Aku sedang memprospek kamu, tahu.”

“Memprospek?”

“Ya, memprospek.”

“Kamu tertarik memainkan euphonium?” tanyanya seraya tersenyum membusur.

“Saat ini posisi yang tersisa hanya euphonium dan tuba. Setiap tahun kami selalu kurang terkenal, makanya sekarang kami kerepotan. Bagaimana? Kalau tidak mau, setidaknya coba dulu?”

“Euph, ya...”

“Ya, euph.”

Sementara Kumiko menjawab dengan ragu, Sapphire perlahan menghampirinya, pita putih di bagian dada seragamnya berayun seiring langkahnya.

“Kumiko-chan juga bagian nada rendah?”

“Eh?”

“Senangnya! Habis di sini tidak ada yang Midori kenal.”

Sapphire memiringkan kepalanya seakan meminta jawaban “ya.” Sepertinya dalam pikirannya Kumiko sudah pasti akan masuk bagian nada rendah.

“Iya, deh. Aku ambil euph.”

Yoroshiku Euphonium | 35

“Asyik! Dapat anggota baru!”

Asuka berseru seraya menjentikkan jari dengan wajah puas.

“Karena kita satu bagian, mohon bantuannya, Kumiko-chan!”

Sapphire tersenyum simpul pada. Sementara itu Asuka diam-diam berbisik di belakang mereka.

“Anak ini ada gunanya juga.”

“Senpai merencanakan apa?”

Demikian Kumiko bertanya. Asuka berbalik lalu sambil tersenyum lebar dia menjawab “Hmm? Tidak, kok.”

“...Masa?”

Sepertinya senior ini tidak boleh dipercaya begitu saja.

“Karena siswa-siswa lain sudah memilih instrumen yang mau diambil, kita tunggu saja di bangku cadangan.”

“Menurut Senpai siswa yang gagal akan mau mengambil posisi tuba?”

“Bukan begitu, habis tidak ada yang mau menghampiri kita. Tuba dan euph selalu begini tiap tahunnya, entah kenapa. Padahal tuba dan euph ‘kan keren.”

Di SMP, alat musik nada rendah juga kurang diminati. Kebanyakan siswa yang ingin bergabung dengan klub orkes tentunya ingin memilih alat musik yang mencolok. Begitu juga Kumiko, saat memutuskan untuk bergabung dengan band orkestra di SD, dia berpikir ingin memainkan trombone. Dia ingin menirukan gerakan musisi bass saat memainkan slide trombone. Namun entah takdir apa, Kumiko akhirnya ditempatkan di posisi euphonium.

Saat melihat ke arah Hadzuki, ia melihat Hadzuki sedang akan dites. Untuk memainkan alat musik logam tiup, ada alat kecil yang disebut mouthpiece. Ukurannya bervariasi; semakin kecil alat musiknya, semakin kecil juga ukurannya, dan begitu juga sebaliknya. Mouthpiece untuk tuba dan trompet bisa dibandingkan seperti ukuran orang dewasa dan anak-anak. Tidak seperti mouthpiece untuk alat musik kayu, mouthpiece alat musik logam bergetar jika ditiup. Alat musik logam akan berbunyi tergantung oleh getaran bibir pemainnya.

36

mouthpiece alat musik logam bergetar jika ditiup. Alat musik logam akan berbunyi tergantung oleh getaran bibir pemainnya.

Akan tetapi, meniup baru tahap pertama untuk mengeluarkan suara. Akan mudah jika sudah biasa, dibutuhkan skill untuk bisa mengeluarkan suara. Jika hanya meniup seperti saat memainkan suling recorder, suara tidak akan keluar. Akibatnya jadi ada siswa yang jadi pesimis kalau mereka tidak akan bisa memainkan alat musiknya.

“Aah, suaranya tidak keluar.”

Hadzuki yang sedang menenteng alat musik menggembungkan pipinya tanda tidak puas. Pimpinan bagian Kaori yang berdiri di sampingnya terus menyemangatinya. Sejak tadi, yang terdengar berbunyi hanyalah suara Hadzuki menarik dan meniupkan nafasnya. Butuh sekitar satu hari untuk membiasakan diri.

“Kaori-senpai orangnya baik, ya?”

Sapphire berujar sambil mengangguk kagum. “Tentu saja!” Balas Asuka seraya membusungkan dada.

“Dia itu ibarat Madonna-nya klub orkes. Dia yang paling terkenal di sini.”

“Maksudnya terkenal... di antara siapa?”

Tanpa ditanya pun jawabannya sudah terbayang, tapi Kumiko merasa tetap harus bertanya.

“Pertanyaanmu aneh, tentu saja di antara siswi-siswi.”

Sambil tertawa cekikikan, Asuka menjawab. “Ooh,” komentar Kumiko sambil tertawa tipis.

Klub orkes adalah tempat bibit-bibit istimewa. Jumlah perempuan dan laki-laki di sini berbanding satu banding sembilan. Tidak jarang siswa perempuan mendominasi jumlah siswa laki-laki. Karena itulah ada kalanya sesama jenis kelamin mengidolakan satu sama lain{in case you are to dull to pick it up; it’s a flag}. Terkadang ada kasusnya sesama fans yang cemburu, baik siswi yang menyimpan perasaannya atau bahkan siswi yang agak tomboi pun ada. Sayangnya hanya ada sedikit laki-laki di klub orkes, karena itu mereka jarang diidolakan di antara anggota klub. Dan karena ini juga tidak ada lelaki yang berpacaran dengan anggota perempuan klub orkes meskipun jumlahnya banyak. ...demikian pikir Kumiko menarik kesimpulan seenaknya.

Yoroshiku Euphonium | 37

yang berpacaran dengan anggota perempuan klub orkes meskipun jumlahnya banyak. ...demikian pikir Kumiko menarik kesimpulan seenaknya.

“Tanaka-senpai juga terkenal ‘ya, kan?”

Akibat suara yang tiba-tiba terdengar dari belakang, Kumiko refleks membalikkan badannya sambil menjerit. Di sana ada Takuya yang berdiri sambil memasang wajah datar.

“Tanaka-senpai, apa dia sudah pasti akan mengisi euph?”

Tanpa melirik ke arah Kumiko, dia bicara pada Asuka. “Benar, kok.” Balas Asuka sambil mengangguk.

“Tanaka-senpai? Berarti Gotou-senpai adik kelasnya Asuka-senpai?”

Sapphire bertanya sambil memiringkan wajahnya.

“Memang. Dia masih kelas dua, kok. Kalian baik-baik, ya.”

Mendengar itu, Kumiko segera menundukkan kepala dengan panik.

“Ah! Saya Oumae Kumiko. Salam kenal.”

“Namaku Gotou.”

Demikian balas Takuya singkat tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Asuka pun terkekeh dibuatnya.

“Gotou memang pemalu, makanya dia jarang bicara. Jadi tidak usah dipikirkan.”

“Ah, baik.”

Begitu Kumiko mengangguk, suara lengkingan terompet menembus kelas. Setelah suara nyaring yang santai itu berkumandang, gaungnya pun terdengar. Suaranya terdengar berbeda dari suara lain, dan meninggalkan kesan yang mendalam, membuat semua mata tertuju pada sang sumber suara.

Sosok itu melepaskan terompet dari bibirnya dengan gerakan yang mulus dan tanpa mengubah ekspresi di wajahnya.

“Bagaimana?”

38

Demikian ujar Kousaka Reina. Tampaknya dia lulus tes hanya dengan satu kali percobaan.
“Ah, iya.” Kaori mengangguk dengan sedikit tertegun.

“Kousaka-san, kemampuanmu sepertinya terlalu tinggi untuk sekolah ini. Asalmu dari SMP mana?”

Ogasawara bertanya dengan kagum. “SMP Kita,” jawab Reina tanpa tersenyum.

“Saya juga mengambil kursus di luar kegiatan klub.”

“Aah, rupanya karena itu. Aku sampai terkejut.”

“Terima kasih atas pujiannya, saya senang mendengarnya.”

Dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan senang, dia menunduk. Meskipun dia selalu bersikap sopan, namun ekspresinya membuat tindakannya tidak terkesan demikian.

“Karena semua calon posisi terompet sudah diaudisi, sekarang akan ditentukan siapa yang lolos. Nama yang akan diumumkan hanya tiga; Kousaka, Yoshizawa, dan Itoda. Yang tidak lolos silahkan melanjutkan ke pilihan keduanya.”

Mendengar perkataan Ketua, siswa yang tidak terpilih kehilangan arah. Di antara mereka tentunya ada Hadzuki. Sambil menatapnya dengan polos, Sapphire menyahut ke arahnya.

“Hadzuki-chan tidak kebagian posisi terompet, ya?”

“Sayang sekali.”

“Hmm? Midori-chan temannya?”

Mendengar keduanya mengobrol, Asuka mendekati mereka. Melihat senyuman mencurigakannya, Kumiko merasa tidak enak. Tapi tidak bagi Sapphire. “Iya,” jawabnya polos.

“Oh, begitu...”

Sambil menyangga dagunya, Asuka melirik tajam ke arah Kumiko.

“Dia bukan anggota klub orkes waktu SMP, kan? Tadi saja dia tidak bisa meniup dengan benar.”

Yoroshiku Euphonium | 39

“Katanya dia mantan anggota klub tenis.”

“Hmm? Berarti kapasitas paru-parunya bukan masalah.”

Segera setelah berkomentar demikian, Asuka melayangkan tangannya ke pundak Sapphire. Hanya dengan begitu, pipi Sapphire samar-samar merona merah.

“Menurut Midori-chan, kalau dia satu bagian denganmu akan menyenangkan tidak?”

“Tentu saja!”

“Belum ada yang ingin mengisi posisi tuba, kalau tidak ada yang masuk bisa gawat... Menurutmu dia bisa mengisi tuba tidak? Sepertinya dia punya kemampuan.”

“Benar juga, sepertinya Hadzuki-chan bisa.”

“Kalau begitu, bisa ajak dia bergabung? Kalau yang mengajak senior sepertiku kesannya seperti memaksa, kalau Midori-chan yang temannya mengajak, dia tidak akan sungkan untuk menolak.”

“Aku mengerti! Midori akan coba mengajak Hadzuki-chan!”

Setelah menjawab dengan ceria, Sapphire melesat ke arah Hadzuki. Setelah itu dia memeluk temannya yang berpundak lesu. Dari tatapannya yang hampa, tampak kalau dia masih punya keinginan untuk mengisi posisi terompet, namun beberapa menit lagi Hadzuki pasti bangkit.

“...Senpai sudah menaklukkan Midori, ya?”

Mendengar perkataan Kumiko, Asuka terkikih.

“Senangnya dapat banyak junior yang baik-baik tahun ini.”

“Banyak? Jangan-jangan saya juga termasuk?”

“Tentu saja.”

Demikian ujar Asuka sembari mengangkat kacamatanya. Di balik lensanya yang tipis, iris mata hitam yang tak terbaca apa emosi yang disampaikannya menatap ke arah kumiko.

“Aku mohon bantuanmu ‘ya, Kumiko-chan.”

40

******

Satu jam setelah semua siswa menentukan instrumen apa yang mereka ambil, bagian nada rendah mendapatkan tiga anggota baru, trio kelas 1-3; Kumiko, Hadzuki, dan Sapphire. Di bangku bagian terompet, tampak ada Reina. Sementara di bangku trombone tampak ada Shuuichi. Padahal semasa SMP, dia mengisi horn.

“Semua sudah berhasil menentukan alat musik pilihannya. Sekarang kita akan menentukan ke mana klub ini akan menuju.”

Ogasawara kembali memindai ruang musik. Hari ini adalah meeting pertama yang dihadiri semua anggota, karena itulah kenapa ruang musik terasa penuh. Siswa kelas dua dan tiga dengan santai mengawasi sambil mengobrol ringan. Ruangan dengan kapasitas 80 orang ini berubah menjadi kumpulan bisik-bisik obrolan. Ruangan yang tadinya tenang mulai menjadi ramai.

“Semuanya, mohon tenang! Meeting dimulai—”

Mengganggu suara Ogasawara, tiba-tiba pintu terdengar membuka.

“Wah, semuanya sudah berkumpul”

“Taki-sensei!”

Ketua berseru dengan suara gembira.

Sesosok pria berperawakan langsing mengenakan kemeja yang menutupi tubuhnya yang proporsional. Wajahnya yang lembut seakan langsung menarik perhatian semua siswi yang ada. Rambut hitamnya yang terpotong rata memantulkan cahaya. Lewat gigi putihnya yang mengintip lewat bibir tipisnya, dia memancarkan aura yang segar. Taki Noboru. Usia 34 tahun. Wali kelas kelas 2-5, dan mengajar musik.

“Wah, tahun ini kita kedapatan banyak anggota baru. Sekitar 30 orang, ya?”

“Dua puluh delapan.”

“Kalian juga sudah menetukan alat musik masing-masing. Baguslah.”

Demikian ujar Taki seraya menyipitkan mata.

Yoroshiku Euphonium | 41

“Pertama-tama biar saya memperkenalkan diri. Saya memberikan sambutan di upacara pembukaan semester baru, jadi saya yakin sudah banyak yang mengenal saya. Saya baru mulai mengajar di sekolah ini sejak tahun ini. Nama saya Taki Noboru, guru musik. Sejujurnya saya merasa Matsumoto-sensei yang sudah lama menjadi wakil guru pembimbing klub orkes inilah yang lebih pantas menjadi guru pembimbing, namun atas permintaan beliau, akhirnya saya yang menjadi guru pembimbing kalian. Jadi mohon bantuannya mulai sekarang.”

Demikian ujar Taki seraya membungkuk. Kumiko belum pernah melihat orang yang bersikap sesopan ini kepada anak-anak. Terpuk tangan para siswa kemudian terdengar di ruang musik. Taki mengangkat kepalanya dan lalu melemaskan bibirnya.

“Setiap tahun di saat seperti ini, saya ingin meminta bantuan pada kalian semua.”

Demikian ujar Taki sebelum mulai menulis di papan tulis. Huruf-huruf putih yang ditulisnya di permukaan hijau tua sangatlah rapih, serapih tulisan yang dicetak komputer.

“Mottoku adalah menghargai kemandirian murid. Sebelum mulai memimpin kalian untuk setahun ke depan, pertama-tama saya ingin kalian menentukan tujuan kalian untuk tahun ini.”

Taki menunjuk ke papan tulis, ke arah tulisan ‘Turnamen nasional.’

“Ini tujuan kalian tahun kemarin, kan?”

“Sensei...”

Mendengar perkataan Taki, Ogasawara menunduk malu.

“Tidak semua dari kami berpikir sama, kami lebih menganggapnya sebagai penyemangat daripada tujuan.”

“Ooh, begitu. Kalau begitu mari kita anggap ini tidak ada.”

Demikian ujar Taki dengan santai seraya menggambar garis menyilang besar di papan tulis. Dia menimpa tulisannya sendiri dengan garis lurus yang sama sekali tidak membengkok. Entah kenapa Kumiko merasa sesak melihatnya, dia pun menghela nafas. Dia kesal. Dia merasa seperti orang lain sudah mengekang impiannya. Tiba-tiba dia teringat dengan dirinya saat SMP. “Aku seperti orang bodoh. Ingin menuju ke turnamen nasional padahal tidak serius,” pikirnya menertawai dirinya sendiri.

42

dengan dirinya saat SMP. “Aku seperti orang bodoh. Ingin menuju ke turnamen nasional padahal tidak serius,” pikirnya menertawai dirinya sendiri.

“Tapi saya merasa kalian tidak bisa begini. Tidak ada hasil yang percuma dari tujuan yang tidak diniati.”

Demikian ujar Taki sambil menyilangkan tangannya dengan wajah tertekan.

“Setelah kalian menentukan menentukan tujuan, barulah saya akan bertindak mengikuti. Jika kalian serius ingin menuju turnamen nasional, maka latihannya tentu akan jadi lebih keras. Sebaliknya, jika kalian merasa cukup hanya bisa bermain musik dan membuat kenangan bersama, maka kalian tidak perlu berlatih keras. Menurutku tidak masalah apa yang kalian pilih, silahkan tentukan sesuai kata hati kalian.”

“Jadi kami yang menentukan?”

Ketua tampak bimbang, namun Taki hanya tersenyum mengangguk. Sepertinya kata-kata “menentukan sendiri” membuatnya terbebani, namun juga Taki sepertinya mengerti. Kumiko menghela nafas dan melihat keadaan di sekitarnya. Dia ingin memastikan kalau tidak hanya dirinya yang masih bimbang.

Ogasawara tampak melirik ke sana-kemari tidak tahu harus bagaimana. Namun dia seakan tersadarkan saat menemukan Asuka sedang memandanginya. Asuka tersenyum berat mengisyaratkan kalau dia akan mengambil alih.

“Baiklah, biar aku notuliskan.”

Demikian ujar Asuka seraya berdiri. “Wakil ketua turun tangan,” komentar siswa yang duduk di belakang.

“Jadi Asuka-senpai itu wakil ketua?”

Hadzuki yang duduk di samping Kumiko berbisik padanya. “Sepertinya begitu,” balas Kumiko sambil melayangkan pandangan pada Asuka.

“Tapi bagaimana bagusnya kita menentukan tujuan sama-sama?”

“Bagaimana kalau pakai pengambilan suara?”

Yoroshiku Euphonium | 43

“Pengambilan suara?”

Mendengar usulan Asuka, Ogasawara sedikit memiringkan kepalanya. Kumiko bisa melihat kecemasan dalam diri Ogasawara.

Pengambilan suara, sebuah praktik dari sistem demokrasi, sebuah contoh cara menentukan sesuatu secara bersama-sama dalam sebuah kelompok. Kumiko membenci cara ini. Sejak dilahirkan, Kumiko selalu abstain dalam pengambilan suara apapun. Yang memiliki suara banyak kuat, yang memiliki suara sedikit lemah. Dengan jumlah yang menjadi penentu, suara Kumiko yang tidak berarti hanya akan tertelan di dalamnya. Namun dia tidak bisa bilang pada siapapun kalau dia tidak suka. Dia takut dia hanya akan dikucilkan. Dia hanya mengosongkan pikiran dan mengikuti pilihan terbanyak. Sedikitnya dia membenci dirinya yang seperti bunglon.

“Tapi apa hasilnya akan adil?”

Demikian ujar Asuka. “Benar juga,” balas Ogasawara.

“Ya sudahlah, kita pilih saja bersama-sama.”

Mungkin dia suka mendengarnya, Sapphire yang duduk di belakang Kumiko mengulangi perkataan Asuka. Ogasawara terdiam bimbang, namun pada akhirnya dia menyerah seraya mengakan “mau bagaimana lagi.” Dia pun kembali menghadapi perhatian kelas.

“Sekarang akan kita adakan pengambilan suara.”

“Biar aku yang menghitung suaranya!”

Ujar Asuka membusungkan dadanya.

“Silahkan angkat tangannya untuk menentukan tujuan kita tahun ini. Apakah kita akan mencoba menuju ke turnamen nasional, ataukah cukup hanya muncul di turnamen bersenang-senang.”

Mendengar perkataan Ogasawara, Kumiko bertopang dagu. Biasanya di saat seperti ini, dia sudah tahu apa yang akan dipilihnya. Jika diberikan pilihan oleh orang dewasa, anak-anak pasti akan memilih yang dianggapnya benar. Pilihan yang benar secara global, atau pilihan yang benar secara lokal. Memilih dari keduanya, muncullah jawabannya di benak tiap anggota.

44

“Pertama-tama, yang ingin menuju ke turnamen nasional, silahkan angkat tangannya.”

Mendengar itu, seketika para siswa mengangkat tangannya. Kuku-kuku tangan berwarna merah muda memantulkan cahaya. “Apa dengan kuku sepanjang itu tidak akan sulit memainkan alat musiknya?” pikir Kumiko sambil mengangkat tangannya. Melihat banyak tangan terangkat, Asuka tidak perlu menulis di papan tulis. Sepertinya hasilnya sudah jelas.

“Selanjutnya yang merasa cukup menuju turnamen Kyoto?”

Mendengar itu, naiklah sebuah tangan dari tengah kelas. Sebuah tangan putih dibalut lengan seragam biru tua terangkat melawan kesendiian. Melihat siapa yang mengangkat tangannya itu, Ogasawara menelan udara.

“Aoi...”

Seperti terkejut, iris mata Ogasawara mengembang. Di hadapannya, Kumiko juga menelan udara.

Saitou Aoi.

Sosok yang dilihat Kumiko adalah orang yang akrab di hatinya.

“Hanya Aoi saja?”

Setelah mengatakan itu, Asuka menulis di papan tulis. Sebuah garis lurus tergambar di papan tulis. Ogasawara memalingkan wajahnya menghindari kontak mata, namun hanya sesaat. Dia menyisir poni rambutnya keatas dan kembali melihat ke arah papan tulis seperti biasa. Seakan memikirkan sesuatu, Asuka memicingkan matanya.

“Hasil pemilihan suara, kita akan menerima pelatihan untuk sampai di turnamen nasional.”

Mendengar perkataan ketua, para siswa mulai bertepuk tangan. Seakan ikut senang dengan hasil yang keluar, Taki juga ikut bertepuk tangan dengan wajah lega. Begitu Taki mulai berdiri, Asuka segera meminta ketenangan dengan tangannya dan memandang ke seluruh penjuru kelas.

“Tujuan yang kalian tentukan ini adalah tujuan yang kalian tentukan dengan tangan kalian sendiri. Ada yang menentang, dan mungkin ada yang sebenarnya tidak setuju dalam benaknya. Namun tujuan ini tetap pilihan kalian. Saya juga akan berusaha supaya kalian bisa mencapai tujuan kalian. Yang saya bisa hanya memandu kalian. Jangan lupakan itu. Tanpa usaha, impian yang kalian tentukan tidak akan terwujud.”

Yoroshiku Euphonium | 45

mencapai tujuan kalian. Yang saya bisa hanya memandu kalian. Jangan lupakan itu. Tanpa usaha, impian yang kalian tentukan tidak akan terwujud.”

“Kalian mengerti?”

Mendengar perkataannya, seluruh kelas terdiam. “Kenapa tidak ada yang mengatakan apa-apa?” pikir Kumiko sambil menutup diri, di saat yang sama Taki menepuk tangannya.

“Kenapa kalian melamun? Mana jawabannya?”

Mendengar suara tajam sang guru pembimbing, mulai terdengar suara jawaban-jawaban pelan. “Apa jangan-jangan...” pikir Kumiko sambil mengerutkan keningnya.

Jangan-jangan klub ini tidak terbiasa dibimbing oleh guru yang benar-benar siap.

“Jawaban kalian lemah. Sekali lagi, apa kalian mengerti?”

Taki mengulangi perkataannya, kali ini terdengar jawaban dengan suara lebih keras hingga menggaung di kelas.

Hari ini cukup di sini saja. Terima kasih.

Dengan tanda suara ketua yang terdengar dingin, kegiatan klub hari ini pun berakhir. Sementara semua anggota membubarkan diri sambil saling mengucapkan terima kasih, Kumiko segera mencari sosoknya. Kegelisahan menguasai paru-parunya hingga tenggorokannya terasa gatal. Saat menemukan sosok yang dicarinya, Kumiko segera meraihnya.

“Tunggu! Ao—— Saitou-senpai!”

Mendengar panggilan Kumiko, Aoi perlahan berbalik. Rambut hitamnya yang mengalir di punggungnya bergelombang. Begitu ia menemukan Kumiko, matanya terkunci dan sedikit bergetar.

“Kumiko-chan?”

“Lama tidak jumpa.”

Sang siswi kelas tiga tersenyum simpul kepala siswi kelas satu yang memanggilnya dengan sopan. Sambil melepaskan tangan Kumiko dari pundaknya, Aoi melihat ke luar jendela.

46

“Mau pulang sama-sama?”

Mendengar pertanyaan itu, Kumiko mengangguk mantap.

******

“Aoi-chan ternyata melanjutkan ke Kitauji juga.”

Mendengar perkataan Kumiko, Aoi tersenyum. Dia adalah orang yang tinggal dua lantai di atas apartemen Kumiko. Saat SD mereka seringkali bermain bersama, namun saat SMP mereka jadi jarang bertemu. Sejak dulu Kumiko selalu mengagumi sosok Aoi, sekarang pun masih sama. Tapi mungkin sekarang Kumiko sudah jadi lebih tinggi darinya. Melihat Aoi yang tampak sangat dewasa saat menyisir rambut hitam yang sejak kecil ia rawat dengan baiknya, Kumiko mengubur kepalanya di antara pundaknya.

“Tadinya aku ingin masuk ke SMA Horiyama, tapi gagal.”

“Wah, sayang sekali.”

Horiyama adalah sekolah yang kurikulumnya khusus untuk melanjutkan ke universitas dan persaingannya sangat keras. Sejak dulu Aoi memang selalu mencetak prestasi, dan sepertinya sekarang juga sama.

“Ngomong-ngomong, apa tidak apa-apa aku mengobrol tidak formal dengan senior seperti ini?”

Mendengar perkataan Kumiko, Aoi mengibas-ngibaskan tangannya.

“Tidak apa-apa. Justru kalau Kumiko-chan bicara sopan begitu aku jadi merasa aneh. Yah, selama tidak di hadapan orang lain tidak apa-apa, kok.”

“Ya, aku paham.”

Mendengar perkataan senpainya, Kumiko mengangguk polos. Aoi tertawa pelan sambil ditutupi tangannya. Tas yang ditentengnya tampak berat terisi penuh.

“Aoi-chan, kenapa tadi mengangkat tangan?”

“Tadi?”

“Waktu ditanya apa ingin menuju ke turnamen nasional.”

“Habis tidak ada orang yang seperti serius menjawab, menurutku tidak perlu memilih untuk jauh-jauh sampai ke turnamen nasional.”

Yoroshiku Euphonium | 47

Sambil menjawab pertanyaan Kumiko, Aoi menurunkan matanya. Di atas permukaan aspal hitam, bayangan mereka berdua terproyeksikan. Angin musim semi yang menusuk kulit berhembus di antara mereka. Tanpa sadar, Kumiko menyisir lubang roknya. Seragam barunya masih mulus tanpa kerutan.

“Mungkin aku hanya membuat alasan.”

Aoi berujar.

“Alasan?”

Kumiko bertanya. Aoi mengangguk ringan lalu mengulangi perkataannya.

“Ya, alasan.”

Di tas Aoi tergantung gantungan yang entah lucu atau tidaknya. Mata Aoi yang tenang seperti mata kelinci terus memandangi Kumiko.

“Saat yang lain menyerah, aku bisa bilang kalau aku sudah menyatakan pillihanku dari dulu.”

“Aoi-chan ingin berhenti dari klub?”

Tanpa sadar, suara Kumiko menjadi suram. Di mata Kumiko yang melebar, terpantul sosok Aoi yang tersenyum berat.

“Entahlah. Saat ini aku masih belum tahu.”

“Kenapa? Padahal sudah sampai sejauh ini, kan?”

“Kenapa?”

Mendadak dia berhenti berbicara.

“Soalnya kalau aku masih berada di klub, aku jadi sulit melanjutkan ke universitas.”

Dengan suaranya yang santai namun terdengar dipaksakan itu, Kumiko merasa kalau dia sedang mencemoohkan dirinya sendiri. Terdengar dari dalam tasnya suara buku panduan yang belum terpakai beradu.

“Aoi-chan ingin melanjutkan ke universitas mana?”

“Entahlah, aku belum memutuskan.”

48

Bohong,” intuisi Kumiko menjerit. “Sudah belajar untuk tes?” “Tidak, masih belum.” Lewat pembicaraan ringan ini, Kumiko merasa ragu dengan perkataannya. Jawabannya terasa lemah tidak seperti orang yang benar-benar punya tujuan. Sambil berpura-pura tidak menyadarinya, Kumiko tersenyum tipis.

“Ooh, begitu.”

“Sebaiknya Kumiko-chan juga jaga diri.”

Tiga tahun itu tidak terasa.

Perkataannya menggema dan terasa menusuk telinga, hingga sulit lepas dari kepala Kumiko.

Notes

Note 1 Sedari tadi, Hadzuki bicara menggunakan logat Kansai sementara Kumiko menggunakan bahasa Jepang standar, beberapa karakter-karakter major lain juga menggunakan logat Kansai. Dialek tidak diadaptasikan ke bahasa Indonesia. Karena inilah versi novel lebih superior. (Kembali ke atas)

Note 2 1871 anno domini. (kembali ke atas)

Facebook comments
1 comment