Review Novel Ringan: Hittori Yudo - Make She Fall in Love

Seperti yang kebanyakan kita ketahui, cinta itu gila. Namun bagi saya, pandangan yang demikian adalah bias dari mata orang yang menderita akibat cinta karena untuk saya yang belum pernah pacaran, cinta itu indah.

Terlepas dari metafilosofi, seperti itulah cinta bagi Juan, seorang pemuda sekolah yang tingkat akademisnya tidak diketahui dari cerita Make HerShe Fall in Love karya Hittori Yudo.

Kisah ini bercerita tentang—jika saya tidak salah menafsirkannya—seorang pemuda bernama Juan yang mencoba menarik perhatian Rika—gadis terdingin di sekolahnya. Di awal cerita, Juan meminta rekan sekaligus sepupunya Erika menjahati Rika agar Juan punya kesempatan untuk mendekati Rika. Siapa sangka, tanpa alasan strategi ini bekerja. Rika yang selalu dingin terhadap orang lain ternyata luluh di hadapan Juan.

Setelah strategi pertama berhasil, beberapa kali Juan dan Rika bicara, hingga teman-teman Juan yang lain seperti Erika dan satu murid laki-laki bernama Bari terlupakan. Suatu waktu Juan dan Rika terkunci di gudang, mereka pun mau tidak mau menghabiskan sedikit waktu bersama. Sepertinya di sinilah gesekan perasaan mereka mulai memercikkan api.

Namun sepanjang perjalanan, heroine-heroine lain mulai masuk mengusik kehidupan Juan dan Rika. Erika yang meski adalah saudari sedarah Juan bagaikan punya tendensi dan phobia untuk mencari pasangan yang punya akar genetik yang tidak jauh dari dirinya. Lalu ada juga Rianti, gadis paling populer di sekolah mereka belajar yang ternyata tidak sesulit mencari sehelai jerami di tumpukan jarum untuk didekati. Meski ramai, namun dinamika yang seharusnya menolak satu sama lain ini justru damai-damai saja. Bahkan semua heroine bagaikan berkonvergensi di sekeliling Juan.

Dari pandangan pertama, kisah ini tampak terinspirasi dari serial Monogatari oleh Nisioisin, namun sayang selain keklisean, tidak ada lagi yang sukses ditiru oleh pengarangnya.

Secara penulisan, kisah ini dipenuhi oleh salah ketik dan pemilihan kata yang ambiguis. Butuh beberapa kali membaca kalimat yang sama untuk bisa mencerna intisarinya. Dari jumlah salah ketik yang ada, saya yakin si Pengarang sendiri ingin cepat-cepat menyelesaikan ceritanya tanpa melihat lagi ke belakang.

“Aku mengelus kepalanya berusaha membuatnya tenang sampai sedikit menyumpah pada putri sombong ini dalam hati.”

What?

“Baiklah apa yang terjadi jika dalam listrik satu kabel tidak terpasang?”

“Listrik tidak akan berjalan!”

“Benar, sama seperti kehidupan jika salah satu bagian tidak setuju makan kehidupan tidak akan pernah berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan!”

Bukan seperti itu cara kerja kehidupan—dan juga bukan seperti itu cara kerja elektrisitas.

Belum lagi monolog transisi yang terjadi di tiap antar dialog. “What,” ujarku, “the,” lanjutku, “fucking,” sambungku seraya mulai berseru, “FUCK?!” seruku sekuat tenaga.

“Aah?” ucapku membuatnya mleihatku dengan tatapan ketakutan, sambil terus tersenyum dengan wajah yang dipaksakan.

“Maaf kak, saya gak liat!” adek kelas ya, tapi ya sudahlah wajahnya ketakutan gitu, mana mungkin aku menahannya lama – lama.

“Ya sudah hati – hati!” ucapku kini berjalan tapi dia tetap berdiri di hadapanku dengan pandangan ketakutan.

“Nama kakak, Juan kan?” ucapnya membuatku kebingungan, siapa perempuan ini sebenarnya.

Ini adalah barisan dialog terakhir sebelum pengarang mulai tidak menggunakan transisi di antara dialognya.

Membaca cerita ini membuat saya merasa seperti memainkan game RPG NES, dan bukan RPG yang bagusnya. Cerita ini bagaikan game RPG di mana setiap NPC antara membeberkan informasi cerita atau langsung memberi quest item ketika diajak bicara, mengarahkan protagonis ke arah final boss tanpa harus melalui random encounter atau menaikkan level. Dan saat sampai di final battle, sang protagonis langsung membunuh final boss hanya dengan mengajaknya bicara. Secara literal dan harafiah, kisah ini sama sekali memiliki klimaks dan konflik juga plot-twistnya benar-benar dipaksakan.

Coba perhatikan diagram di samping, kira-kira seperti itulah dinamika antara karakter yang ada. Lihat apa yang salah di sana? Yep. Selain tingkat lingkaran karakter yang hanya dua lapis, semua karakter lain seperti tidak punya kehidupan sendiri-sendiri dan berkonvergensi di protagonis, seakan dunia berpusat padanya.

Sejak beberapa paragraf belakangan, saya sudah mengumpulkan poin-poin negatif di cerita ini. Sebagai reviewer yang baik, tentu saya harus mencantumkan poin-poin positif juga. Namun sayangnya saya tidak bisa. Sang pengarang sebenarnya ingin membuat ceritanya dalam bentuk komik namun memaksakan ditulis sebagai novel, tapi sayang dia masih tetap menceritakan cerita ini bagaikan membaca komik. Dan dari gaya bahasanya, cerita ini ditulis berdasarkan pengalaman pengarang membaca novel hasil terjemahan fans di Internet.

Jika harus memberi nilai, seginilah nilai yang saya berikan untuk cerita ini.

Itu pun karena saya berbaik hati.

Jika saya adalah seorang editor, saya akan menyarankan pengarang untuk berhenti menulis sepenuhnya dan memilih jalur karir lain lalu menghiburnya dengan senyum tipis. Untungnya saya bukan editor, jadi saya hanya akan menyemangati dengan berkata “kamu masih harus banyak belajar, kurangi membaca novel terjemahan fans dari Internet dan mulai perbanyak baca-baca hasil tulisan/terjemahan professional yang ada di toko buku.”

Demikianlah review saya yang teramat jujur tentang cerita ini, semoga dengan ini sedikitnya satu bencana sastra berkurang. Terima kasih sudah membaca.

Sumber material yang dibahas: http://hittori-yudo.blogspot.com/2015/08/makes-she-fall-in-love-list.html

fsc

Facebook comments
2 comments