Hibike! Euphonium - Prolog
Prolog | 7

Prolog

Ratusan dan ratusan harapan memandangi satu arah yang sama. Sensasi panas yang melilit aula membuat pipi para gadis di dalamnya memerah. Seakan ditekan perasaan harap-harap cemas, Kumiko menghela nafasnya untuk menenangkan diri. Jantungnya berdebar cepat, sulit dikendalikan. Telapak tangannya yang terkepal menggenggam keringat, dan ujung jari yang sedari tadi digigitinya kini meninggalkan bekas berbentuk bulan sabit.

“Bisa-bisa aku mati tegang.”

Azusa di sebelahnya yang lebih kesulitan bersabar mulai mengeluh. Sambil menjawab “aku juga,” Kumiko dengan cepat membuka matanya.

Turnamen Orkestra Prefektur Kyoto.

Terpampang berderet dengan karakter sederhana di permukaan sebuah baligo. Semenjak dia masuk SMP, ini adalah kali ketiga dia mendatangi aula ini. Dengan tujuan menembus turnamen Kansai. Tujuan yang sama tetaplah menjadi ambisinya pada kesempatan kali ini. Tanpa disadarinya, Kumiko terus mengepalkan tangannya semakin erat.

“Ini dia.”

8

Suara-suara yang sulit dipastikan dari mana asalnya mulai berseru. Pria-pria yang membopong segulung kertas besar pun perlahan maju ke hadapan mereka. Semua perhatian tertuju ke sana. Jantung mereka terasa melesat seperti lalat yang lepas landas. Sensasi panas dalam kepala mereka membuat mereka merasa seakan nyaris pingsan. Mereka pun menutupi pipi mereka yang sudah merona merah dengan tangan mereka, Kumiko juga ikut memandangi kertas itu.

Para pria itu perlahan membentangkan kertas itu. Tampaklah jajaran nama-nama SMP. Di sampingnya tertera kata-kata lain; emas, perak, dan perunggu. “Dan nama sekolahku...” sebelum Kumiko bisa memikirkannya, Azusa sudah berteriak kegirangan.

“Kita dapat emas!”

Tidak lama kemudian, pekikan-pekikan kegembiraan terdengar di mana-mana seperti mewabah. “Berhasil!” “Kita dapat emas!” Ada perwakilan sekolah yang berteriak, ada juga perwakilan sekolah yang terdiam. Buah kenyataan yang bernama “hasil” seakan menampar perwakilan sekolah yang terdiam di depan mata. Melihat perwakilan sekolah yang berada di sebelah sekolahnya dirundungi atmosfir pemakaman, momen kebahagiaan yang dirasakan Kumiko mendadak lenyap.

“Kumiko, kenapa melamun? Kita dapat emas! Emas!”

Merasakan pelukan tiba-tiba dari Azusa, Kumiko pun tidak kuasa menahan tawa.

“Iya. Syukur, ya.”

“Aku akan memberitahu Asami dulu, dia terlalu tegang sampai senbunyi di toilet.”

“Oke, jangan sampai ketinggalan rombongan, ya!”

“Oke!”

Setelah menjawab dengan ceria, Azusa berlari lincah melewati aula. Dia melihat beberapa gadis berambut hitam menjalin tangan dan berayun bersama. Tangan Kumiko yang terkepal perlahan melemas, dia pun kembali melihat ke arah kertas pengumuman. Tidak salah lagi, mendampingi nama sekolahnya, tertera “posisi emas.”

Prolog | 9

Meski emas, namun posisi emas yang mereka dapatkan adalah emas liplap yang tidak maju ke turnamen Kansai, meski begitu dapat posisi emas sudah lebih dari apa yang dia harapkan. Saat dia melihat ke arah guru pembimbingnya, gurunya itu pun tampak sedang bertepuk tangan dengan wajah puas. “Syukurlah, kami dapat emas.” Perlahan namun pasti, Kumiko mulai merasa kembali ke kenyataan. “Huh,” dia menghela nafas merasa lega, dan dalam sekejap lututnya seakan kehilangan tumpuan.

“Kita beruntung, ya?” Saat mendengar kata-kata itu dari teman satu tim alat musiknya, saat itulah Kumiko teringat dengan ketidak-nyamanan yang ia rasakan. Saat dia menengok-nengok mencari sumber perasaannya, tidak sengaja dia saling bertatapan dengan Reina. Seorang gadis yang berdiri mematung sambil menggenggam erat trompetnya tanpa menunjukkan senyum sedikit pun.

“Saking senangnya sampai menangis, ya?”

Kumiko bertanya terbata-bata, sementara Reina menengok ke arahnya tanpa mengatakan apa-apa. Dari bola mata lebarnya yang syarat akan kesungguhan itu menggenanglah butir-butir tipis air mata.

“...sal.”

“Ya?”

Menjawab Kumiko yang bertanya balik, Reina memilih untuk meluapkan isi hatinya.

“Aku kesal! Sangat kesal rasanya lebih baik mati! Kenapa mereka sudah senang dapat posisi emas di sini?! Bukankah kita mengejar suara emas nasional?!”

Air mata berjatuhan dari matanya. Seakan ingin melarikan diri, Kumiko mengalihkan pandangannya. Wajahnya memanas membara. Dia malu karena sudah merasa bangga dapat posisi emas.

“Apa kamu benar-benar berpikir kita bisa sampai ke turnamen nasional?”

Dengan kasar Reina menyeka matanya dan mendengus pendek. Tampak seberapa marahnya dia dari bibir merah muda pucatnya yang bergetar naik dan turun. Seakan ingin mengusir hanya dengan tatapan.

10

“Jadi kamu tidak kesal?”

Kata-kata yang dimuntahkannya langsung menusuk jantung Kumiko.

“Pokoknya aku kesal! Amat sangat, sangat kesal!”

Suaranya yang seakan melontarkan keras tiap kata yang diucapkannya bagai mengukir diri secara paksa ke dalam benak Kumiko.

******

Itulah sepotong kisah dari perlombaan terakhir yang diikutinya saat SMP.

Saat ia memikirkan peristiwa itu, Kumiko selalu teringat pada tatapan mata Reina. Dan tiap kali dia teringat padanya, Kumiko selalu ingin bisa melarikan diri dari hari di musim panas itu.

Facebook comments

No comments:

Post a Comment