The Clash of Summoners - Striga [Stage 1]

/001/

Metronord...

Seorang gadis yang separuh wajahnya tertutupi tudung jubahnya berbisik memanggil nama kota yang ditujunya. Di gerbang kota Metronord yang kokoh membatasi kota dan dunia luar ia berdiri. Seraya ia menengadah melihat puncak gerbang kota ini, wajahnya yang terhalang bayangan pun tampak jelas terkena sinar matahari.

Gadis ini bernama Striga. Selama bertahun-tahun ia sudah bertahan hidup jauh di Timur sebagai pemburu, di sebuah kota kecil di mana kemiskinan dan kemelaratan adalah pemandangan yang sangat biasa. Belum lagi kota itu dikuasai seorang tuan tanah yang menguasai segala sumber daya yang ada di sana. Mendengar adanya turnamen berhadiah besar yang diadakan di Metronord, Striga melarikan diri dari tuan tanah yang selama ini sudah memperkerjakannya dengan semena-mena ke Metronord demi memenangkan turnamen ini. Dia sudah bersumpah, jika dia menang nanti, dia akan menggunakan hadiah yang ia menangkan untuk memerdekakan kota tempatnya dibesarkan.

Striga menarik nafas dalam-dalam dan mencium tangan kanannya yang terkepal, lalu ia mulai berjalan masuk ke dalam kota seraya mengangkat tinggi-tinggi tinjunya. Tindakannya ini adalah salam untuk kota yang akan menjadi tuan rumahnya untuk beberapa saat ke depan, juga adalah janji kalau dia akan menaklukkan apa saja yang menghalanginya dengan kemenangan.

/002/

Setelah bertahun-tahun tinggal di kota kecil, mendadak hidup di ibukota membuat Striga sedikit canggung. Keramaian yang jauh berbeda membuatnya sedikit tidak nyaman, oleh karenanya dia mencari tempat di mana ia bisa menemukan ketenangan. Selama beberapa hari pertama menunggu dimulainya turnamen, Striga menjadi penghuni gelap sebuah atap bangunan tinggi. Di tempatnya berasal, saat sedang berburu, dia sudah biasa tidur di atas pohon. Rasanya tidak jauh berbeda, hanya saja suara alam tergantikan oleh suara... suara manusia dalam bentuk yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

Hari pertama turnamen pun tiba. Setelah melakukan daftar ulang, Striga segera masuk ke dalam stadium, bergabung bersama peserta-peserta lainnya. Mereka semua keluar ke arena saat raja Jastran memberikan pidato pembuka turnamen, di sanalah Striga menemukan kalau ternyata rombongan peserta di mana ia berada bukanlah satu-satunya rombongan peserta yang ada, karena dari tiap penjuru mata angin muncullah rombongan-rombongan peserta-peserta lain yang berkumpul menjadi satu di tengah arena.

“Semoga yang terbaik menjadi pemenangnya!” tutup raja Jastran memulai babak pertama turnamen.

Hiruk-pikuk penduduk kota Metronord yang menonton turnamen Clash of Summoners akhirnya reda begitu para peserta turnamen masuk ke dalam ruang tunggu peserta. Meski demikian, bukan berarti sudah tidak ada keributan di sini. Di dalam ruang tunggu yang dinding, lantai, dan langit-langitnya berwarna putih bersih ini 36 peserta berkumpul.

Begitu semua peserta sampai, mereka mulai saling mengajak bicara. Menurut apa yang dijelaskan di arena tadi, event pertandingan pertama adalah event berkelompok, wajar jika setelah upacara pembukaan mereka saling mencari rekan satu tim mereka.

Striga berdiri seorang diri di sisi ruangan, menunggu rekan timnya memanggilnya. Beberapa kali ada yang menghampirinya dan bertanya apa dia rekan satu tim mereka, namun sayang dari beberapa kali dihampiri, semuanya bukanlah rekan timnya.

“Eehh, untuk tim satu segera bersiap memasuki arena dan ikuti saya,” ujar sang utusan panitia. Disusul dengan berkumpulnya dua wanita dan seorang pria.

Setiap jamnya, seorang panitia kembali ke ruang tunggu dan menjemput tiga peserta. Tidak sampai tiga jam kemudian barulah ada sepasang perempuan yang kembali menghampiri Striga. Dari pandangan pertama, kedua perempuan ini tampak seperti kakak beradik dilihat dari perbedaan tinggi mereka.

“Hey?” panggil perempuan yang lebih tinggi yang membawa tas ransel. “Kamu Striga dari tim 12, kan?”

“Ya,” jawab Striga singkat.

“Tuh, kan,” timpal perempuan pendek berkacamata persegi yang tangan kanannya tampak mekanikal.

“Tsk,” lanjut perempuan tinggi. “Kenapa tidak mencari kami, sih?”

“Aku... tidak merasa perlu.”

“Tidak perlu?! Kita ini satu tim, lho! Apapun pertarungan yang akan kita hadapi sebentar lagi, mereka tidak akan repot-repot memasangkan tim kalau mereka pikir satu orang bisa menyelesaikan babak ini sendirian, tahu!”

“...”

Striga tidak menjawab, membuat perempuan itu tampak kesal. Melihat ini, perempuan kecil di antara mereka mulai ikut bicara.

“Sudah, sudah,” ujarnya pada Striga. “Namaku Ginny Lux, panggil saja Ginny. Kakak ini namanya Rosetta Alsaten. Aku belum tahu apa kemampuan Kak Striga, tapi apa yang dikatakan Kak Rosetta ada benarnya, tanpa kerjasama kemungkinan besar kita tidak bisa maju ke babak berikutnya. Karena itu, aku mohon bantuannya, ya.”

“Ginny, kalau dia tidak butuh kita, kita juga tidak butuh dia——”

“Kak Rosetta!”

“Maaf.”

“Aku juga...” timpal Striga dengan suara pelan, “minta maaf.”

“Tuh, Kak Striga juga sudah minta maaf.” Lanjut Ginny.

“Ya sudah, aku maafkan.” Balas Rosetta.

Meski Rosetta berkata demikian, namun selama menunggu giliran mereka tiba, Rosetta dan Striga sangat jarang bicara satu sama lain. Striga juga jika tidak diajak bicara, dia tidak akan memulai pembicaraan.

Setelah hampir setengah hari menunggu, akhirnya giliran tim 12 tiba. Trio ini mendapat nomor paling buncit, mereka pun harus menunggu paling lama. Namun meski demikian, mereka masih tidak tahu pertarungan macam apa yang terjadi di arena. Karena itu, saat mereka dijemput panitia dan berjalan ke arah arena, mereka hanya bisa menyiapkan diri untuk kejutan yang menunggu mereka.

“Arenanya lewat sana,” tunjuk sang panitia yang hanya mengantarkan mereka hingga sampai sebelum pintu masuk arena, “semoga beruntung, ya.”

Ginny, Rosetta, dan Striga tidak menjawab. Mereka hanya memfokuskan diri pada apa yang menunggu mereka di arena sana.

Semakin dekat dengan gerbang, semakin terdengar suara riuh. Tidak hanya suara sorak sorai penonton di arena, namun juga suara gemuruh yang lain. Begitu sampai di arena barulah mereka tahu kalau arena sedang diguyur hujan lebat yang diiringi guntur yang bersahut-sahutan.

/003/

“A— Apa ini?” decap Rosetta terkejut sekaligus kagum sementara Ginny mendengadah sampai lehernya tidak bisa lebih naik lagi dan Striga sedang mengenakan tudung jubah dan gogglesnya.

Di hadapan mereka, mereka tidak melihat apa-apa kecuali dinding tinggi yang menjulang hingga dua puluh meter.

“Ini labirin?” tanya Ginny pada rekannya yang lain.

“Sepertinya iya,” jawab Striga singkat.

“Anggota tim 12, mohon perhatiannya!” perhatian mereka bertiga tiba-tiba teralihkan ke arah suara keras di puncak dinding di atas gerbang arena. Di sana ada seorang wanita yang sedang menyerukan suaranya lewat sebuah megaphone. “Selamat datang di stage 1! Untuk pertandingan kali ini, sistemnya adalah capture the flag. Di ujung labirin ini, kalian akan menemukan sebuah bendera, jika kalian berhasil mengambilnya, otomatis kalian akan maju ke babak berikutnya!”

“Kedengarannya mudah sekali!” jawab Rosetta.

“Tidak juga, kok! Yang menghalangi kalian dengan bendera tiket kalian maju bukan hanya dinding tinggi labirin ini! Di beberapa tempat, kalian akan menemukan beberapa penjaga yang akan mencoba menghentikan kalian! Belum lagi jebakan-jebakan maut yang tersebar di dalam labirin!”

“Hah?!”

“Sudah mengerti, kan? Oh! Dan satu lagi, waktu kalian hanya 45 menit untuk menyelesaikan tugas ini atau kalian dianggap gugur!”

“Tunggu dul——”

“Dimulai dari sekarang!”

“Tsk!”

Di langit, terproyeksi dua pasang angka yang dipisahkan dengan titikdua. 45:00. Satu detik kemudian angka itu berubah menjadi 44:59. Angka itu adalah indikator berapa lama sisa waktu yang mereka miliki.

“Sial!” Serapah Rosetta. “Bagaimana ini?”

“Tadi kakak itu bilang tujuan kita ada di ujung labirin, kan? Itu artinya kita harus mencari jalan untuk sampai di sisi lain labirin.”

Sementara Rosetta dan Ginny berdiskusi, Striga memisahkan diri dan memeriksa dinding labirin. Setelah menyentuh dan mengetuk-ngetuk dinding labirin, dia tahu kalau dinding ini tidak mungkin dihancurkan dengan cara biasa.

“Yang namanya labirin pasti punya kelemahan yang sama; sisi dindingnya tidak mungkin terputus. Jika kita menelusuri satu sisi dinding, cepat atau lambat kita pasti akan menemukan pintu keluar.”

“Ah, aku mengerti.”

“Hanya saja ada masalah. Waktu kita terbatas dan kita tidak tahu seberapa besar labirin ini. Seandainya panjang dinding labirin yang harus ditelusuri lebih dari dua kilometer, kita tidak akan bisa sampai di ujung labirin sebelum waktu kita habis.”

“Berarti kita harus cari cara yang lebih efektif.”

“Yeah, begitulah. Kalau boleh tahu, kemampuan summon Kak Rosetta apa?”

“Summonku? Summonku tidak terlalu berguna dalam keadaan ini. Summonku adalah relik yang bisa meracuni atau meningkatkan sementara orang yang disentuh olehnya. Kalau summon Ginny sendiri?”

“Summonku juga tidak terlalu berguna dalam kondisi ini. Aku hanya bisa memanggil robot yang membantuku dalam pertarungan— Eh, tunggu dulu. Kak Striga di mana?”

Setelah agak lama berdiskusi, akhirnya mereka berdua menyadari ketidakhadiran Striga di antara mereka. Setelah berbalik ke kiri dan kanan, mereka akhirnya menemukan Striga sedang memandang ke puncak salah satu dinding labirin. Melihat itu, Rosetta dan Ginny pun segera menghampirinya.

“Oy, Striga!” panggil Rosetta dengan nada marah, “kau ini, ya!”

Striga yang mendengar panggilan itu segera berbalik dan menemukan kedua rekannya sedang berlari ke arahnya.

“Sudah kubilang, kita harus kerjasama!” lanjut Rosetta dan Ginny yang sekarang sudah basah-basahan di bawah hujan.

“Kak Striga, kita harus mencari cara paling cepat untuk bisa mencari tujuan sebelum waktu habis selain menyusuri satu sisi dinding.”

“Aku sudah tahu. Aku juga sedang memikirkan itu.”

“Apa Kak Striga punya rencana lain?”

“Mungkin saja. Kalau hanya aku seorang, aku bisa memanjat puncak dinding lalu mencari jalan dari atas.”

“Memanjat dinding?” tanpa Rosetta ikut bicara, “memangnya kemampuan summonmu bisa membuatmu terbang? Lihat dinding ini. Permukaannya rata tidak ada celah. Tidak mungkin bisa dipanjat.”

“Tidak juga. Tapi summonku bisa melontarkan diriku hingga sampai ke puncak. Hanya saja masalahnya aku tidak bisa membawa kalian tanpa grapling hook-ku yang diamankan panitia sebelum aku masuk ke arena.”

“Grapling hook? Maksudmu sejenis tali? Kalau itu aku punya.” Rosetta segera membuka ranselnya dan mengeluarkan segulung tali tambang. “Hanya saja aku tidak yakin panjangnya cukup untuk sampai ke puncak. Paling hanya setengahnya.”

“Ah! Segini juga cukup. Rosetta, ikatkan tali ini pada dirimu dan Ginny, aku akan membawa kalian bersamaku saat aku melompat ke atas. Begitu sampai di puncak, kalian tinggal memanjat sedikit lagi.”

“Ah! Kita bisa coba itu,” sahut Ginny menyetujui.

Segera Striga mengikatkan salah satu ujung tambang pada dirinya sementara Rosetta melilitkan dirinya di pertengahan ujung lain dan menyisakan ujungnya untuk diikatkan pada tubuh Ginny. Sementara Rosetta menyimpulkan tambang di tubuh Ginny, Striga memejamkan matanya dengan tangannya yang seakan menggenggam tongkat udara di depan wajahnya dengan jempol ke bawah.

“Semoga pertumpahan darah ini memberkahi dunia,” bisik Striga.

Segera tattoo summoner di atas siku kanan Striga bercahaya, melepaskan selimut cahaya merah jambu yang menjalar sampai ke tangannya. Begitu cahaya itu menyelimuti tangannya, cahaya itu membentuk sebuah pedang dalam genggamannya. Setelah cahaya itu membentuk sebuah pedang utuh, cahaya itu pecah, memperlihatkan sebuah pedang berbilah hitam mengkilat. Begitu pemanggilan ini selesai, Striga menebaskan pedangnya ke bawah.

“WAAAHHH!” Mendadak Ginny berseru, sontak membuat Rosetta dan Striga terkejut.

“A— ada apa?” tanya Rosetta.

“Kak Striga kenapa tidak bilang kalau punya weapon summon?!”

“Hah?” sahut Striga pelan.

“Boleh aku lihat tidak? Boleh aku pegang tidak?!”

“Na— nanti saja.Kita tidak punya waktu untuk ini.”

“Tapi janji nanti perlihatkan summon Kakak padaku, ya!”

Tanpa menjawab permintaan Ginny, Striga segera mengambil jarak, sekitar tiga meter dari tempat Rosetta dan Ginny berdiri. Setelah mengukur kekuatannya, dia segera memasang kuda-kuda. “Rosetta, dekap Ginny erat-erat!”

Mendengar peringatan Striga, Rosetta segera berlutut mendekap Ginny sementara Ginny tidak melepaskan pandangannya dari Striga menunggunya melepaskan kemampuan summon weaponnya. Tanpa membuang waktu lagi, Striga memutar gagang pedangnya.

DHUAR!

Ginny yang sudah menanti-nantikan kekuatan summon milik Striga hanya bisa terngaga melihat Striga tiba-tiba menghilang dari tempat pijakannya dan air hujan yang harusnya jatuh di sekitar Striga tiba-tiba berbelok terciprat ke wajahnya.

Tali yang mengikat mereka bertiga segera semakin terulur hingga akhirnya menegang. Ginny tidak sadar apa yang sudah terjadi sampai ia melihat tali itu ternyata menegang ke atas.

“HNGKH!”

Rosetta tersenggak ketika merasakan tarikan kuat di perutnya tempat ia melilitkan tambang yang diiringi dengan terangkatnya Ginny dan dirinya. Ginny hanya bisa berteriak sementara Rosetta seakan sudah kehilangan kesadaran saat mereka bertiga melawan gravitasi. Dengan dorongan yang diterimanya, Striga berlari di dinding menuju ke puncak. Namun sayang satu kali dorongan masih belum cukup. Saat ia mulai kehilangan momentum naik, sekali lagi dia mengacungkan pedangnya ke atas dan memutar gagang pedangnya.

DHUAR!!

Sekali lagi ledakan keluar dari bawah gagang pedang Striga, melontarkannya lebih tinggi ke atas dan menarik Rosetta dan Ginny naik. Dengan lontaran kedua ini, Striga berhasil sampai ke puncak, bahkan lebih. Saat sudah tidak ada dinding untuk dipijak lagi, Striga berjungkir balik di udara sebelum ia mendarat di puncak dinding. Begitu dia sudah mendapatkan pijakan lagi, dia segera menarik tali yang melilitnya dan menahan beban yang mulai menggantung di ujung satunya.

“Rosetta! Segera panjat talinya!”

Meski badannya masih nyeri karena tertarik tiba-tiba, Rosetta mengerahkan kekuatannya untuk memanjat tali dengan Ginny menempel di punggungnya. Tidak butuh waktu lama sampai mereka berdua menyusul Striga di puncak dinding. Dari sini, mereka menemukan seberapa besar labirin tempat mereka berada saat ini.

“Whoa...”

Mereka bertiga tertegun melihat ukuran labirin ini. Lebarnya kurang lebih seratus meter, dan panjangnya mungkin sekitar 250 meter. Sesuai dugaan Ginny, jika mereka menyusuri dinding seperti yang direncanakan di awal, mereka tidak akan punya cukup waktu untuk mencapai tujuan.

Kekaguman mereka tidak berlangsung selamanya. Rosetta yang tersadarkan duluan segera melepaskan tambang yang melilit tubuhnya.

“Kak Rosetta, kenapa dilepas?”

“Sakit, pokoknya aku tidak mau ikut terbang bersama Striga lagi.”

“Tidak masalah, sekarang kita ada di puncak perjalanan kita sudah jadi jauh lebih mudah.”

/004/

Dari tempat mereka berada, mereka mulai berlari lurus ke arah ujung labirin. Sesekali mereka melompati celah antara puncak dinding labirin sebelum kembali berlari. Satu-satunya lawan mereka di atas sini hanyalah angin kencang. Sementara itu penghitung waktu yang terproyeksi di langit sudah menunjukkan 42:38 dan terus berkurang.

Namun perjalanan mereka tidak seterusnya mulus. Setelah satu menit lebih berlari, tiba-tiba mereka berhenti berlari saat mereka merasakan pijakan mereka bergetar hebat.

“Ada apa ini?” tanya Ginny yang berdiri paling depan.

“Entahlah. Tapi hati-hati, ingat kata panitia di awal tadi; ada jebakan yang menanti kita di labirin ini.”

GRUDUKK!!

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Suaranya hampir sama seperti gemuruh guntur yang terus terjadi sejak tadi, hanya saja kali ini guntur ini tidak didahului oleh petir. Mereka bertiga pun menyadari ada yang aneh, hanya saja tidak ada yang tahu apa itu.

“Ginny! Rosetta! Awas!”

Ginny dan Rosetta yang mendengar seruan Striga segera berbalik, mereka menemukan Striga sedang menunjuk ke bawah; ke arah pijakan mereka. Saat itulah mereka menemukan kalau dinding labirin yang mereka pijak ternyata sudah retak, dan retakannya terus melebar.

Melihat itu, Ginny segera berlari maju sementara Striga melompat mundur menghindari retakan. Namun terlambar bagi Rosetta, Rosetta terperosok bersama runtuhnya dinding labirin yang sudah pecah menjadi puing-puing kecil.

“Kak Rosetta!!” panggil Ginny setelah ia lolos dari dinding yang runtuh. Namun tidak ada balasan dari Rosetta yang tertelan asap runtuhnya dinding.

“Ginny!” panggil Striga yang tertinggal di ujung lain dinding yang runtuh. “Ginny! Teruslah berlari ke tujuan! Jangan berhenti! Selama salah satu dari kita mendapatkan bendera yang dimaksud, kita akan menang! Biar aku pastikan Rosetta baik-baik saja! Mengerti?!”

“Tapi Kak Striga—”

“Jangan bilang tapi! Pergilah!”

Mendengar perintah Striga, mau tak mau Ginny harus meninggalkan Striga dan Rosetta. Ginny berbalik dan berlari ke arah ujung labirin, sendirian.

Meski dia tidak panik, namun ia sangat mencemaskan keadaan kedua rekan satu timnya. Sesekali ia melihat ke belakang, namun ia tidak menemukan siapapun di belakangnya. Melihat ke belakang membuat Ginny tidak memperhatikan ke mana dia berlari. Saat dia menghadap ke depan lagi, dia terlambat menyadari kalau dinding yang dipijaknya sudah habis. Meski ia mencoba mengerem, namun dia gagal berhenti. Ginny pun terperosok jatuh. Meski demikian, untung saja ada pohon dan semak-semak lebat yang menjadi tempat mendaratnya.

/005/

Sesaat sebelumnya, Striga melompat turun ke tempat di mana Rosetta terperosok. Namun ia tidak menemukan apa-apa. Kecuali tumpukan puing-puing bebatuan dinding yang runtuh.

“Rosetta!!” sahutnya memanggil. Namun tidak ada jawaban. “ROSETTA!!” Panggilnya lagi.

Sebagai pemburu, Striga memiliki kemampuan trackingyang mumpuni. Namun di tengah hujan seperti ini, air sudah membasuh jejak-jejak yang ada sehingga sulit mencari sesuatu ataupun seseorang. Namun selain kemampuan tracking, Striga juga memiliki insting yang peka. Instingnya inilah yang sudah memperingatkannya kalau ada yang tidak beres.

Segera ia berbalik. Dari pojok sebuah belokan, tampak ledakan udara kecil yang terus melebar menyipratkan tetesan air hujan seiring semakin dekat dengan dirinya. Seandainya saat ini sedang tidak hujan, jejak ledakan-ledakan itu tidak akan terlihat.

Dengan sigap Striga mengarahkan bilah pedangnya ke kiri dan memutar gagangnya, dan BOOM! Sebuah ledakan terlepas dari ujung bawah gagang pedangnya, melemparkannya menjauh dari trajektori jejak ledakan sebelum sebuah ledakan terjadi di hadapannya.

Striga berjungkir balik di atas satu tangan sebelum akhirnya dia berhenti dan fokus mencari apa yang sudah menyerangnya. Di sebuah pertigaan, seorang pria berrambut cepak berseragam merah dengan tampang serius sedang menatapnya sambil menarik nafas. Striga tahu tarikan nafas itu bukan tarikan nafas biasa. Saat pria itu mendorong kedua telapak tangannya ke depan sambil menghembuskan nafasnya, Striga tahu kalau itulah caranya melepaskan ledakan seperti tadi.

Magic summon.

Itulah yang Striga pikirkan seraya mulai bermanuver menghindari trajektori jalur ledakan. Jarak di antara mereka memang cukup jauh, dan serangan pria itu sangat berbahaya, namun ada jeda di antara tembakan ledakannya.

Striga terus berlari menyamping sambil terus mendekat, sesekali mengubah arah larinya saat dia tidak bisa lagi berlari menyamping ke arah yang sama karena ada dinding yang menghalangi. Begitu sudah berada sangat dekat dengan sang pria, Striga melepaskan tebasan horizontal ke arah tubuh sang pria.

Namun Boom. Sebuah ledakan kecil terjadi tepat di antara mereka. Untungnya hanya ledakan kecil, namun cukup untuk membuat Striga membatalkan serangannya dan memberikan sang pria cukup waktu untuk melompat mundur.

“Siapa kau?” tanya Striga dengan pedangnya terhunus ke depan.

“Namaku Metel, nona Striga. Akulah yang bertugas menghentikanmu.”

“Sayang sekali, Metel. Aku bukan orang yang mudah dihentikan.”

Striga mulai kembali berlari ke arah Metel. Metel juga mempersiapkan diri. Dia tahu lawannya ini adalah petarung jarak dekat yang mana adalah mimpi buruk petarung jarak jauh sepertinya.

/006/

Di saat berbeda, beberapa menit sebelumnya, saat dinding runtuh memisahkan trio tim 12, Rosetta mendarat keras ke atas puncak puing-puing reruntuhan dinding. Dia lalu berguling-guling di tumpukan puing hingga ia mendarat di atas permukaan tanah.

“Ugh...” dia tidak kehilangan kesadaran, namun sekujur tubuhnya nyeri akibat jatuh dari tempat tinggi.

Rosetta mencoba bangkit, terasa kaki dan tangannya tidak bisa ia gerakkan dengan sempurna.

“Nona!” Sebuah suara mendadak terdengar menggaung di antara dinding pualam labirin.

“Siapa itu?” batin Rosetta mendengarnya. Suara itu tidak terdengar seperti suara yang pernah didengarnya.

“Ooh, di sana rupanya.”

Rosetta berbalik, dia menemukan seorang pria berseragam merah sedang berdiri agak bungkuk dengan kedua tangan dimasukkan ke kantung celananya.

“Siapa kau?!” tanya Rosetta sembari memegangi tangan kirinya yang tidak bisa ia gerakkan.

“Perkenalkan, Nona,” jawab sang pria sambil menyapu poni rambut gondrongnya yang basah terkena hujan. “Namaku Reno. Aku bertugas untuk menghentikanmu.”

Oh sial,” batin Rosetta. Dia mendapat lawan yang merepotkan, padahal kemampuan summonnya tidak terlalu berguna dalam pertarungan langsung. Sebenarnya Rosetta punya kemampuan bela diri, namun dalam kondisi badannya saat ini, dia tidak mungkin bisa melawan. Yeah, pertarungan ini hanya akan merugikan dirinya. Meski biasanya dia gegabah dalam situasi seperti ini, dia tidak cukup bodoh untuk tidak menyadari pertarungan ini hanyalah bunuh diri.

“Nona Rosetta!” seru Reno seraya mengangkat kakinya tinggi-tinggi sebelum menghentakkannya ke permukaan tanah. “Maafkan aku, tapi aku harus menghentikanmu!! Roaplex, ad quassa!”

Dari hentakan kakinya, Reno menciptakan retakan tanah yang menjalar ke kiri Rosetta.

“Hey?! Kau menyerang ke mana? Aku di sini!” seru Rosetta melihat serangan Reno sama sekali tidak dekat dengan tempatnya berdiri.

“Oh, kau kira aku tidak tahu itu?”

“Huh?”

Rosetta berpaling ke arah ke mana retakan tanah itu menjalar. Retakan itu menjalar ke atas dinding labirin, dari dasar hingga ke puncaknya. Saat itulah Rosetta sadar kalau Reno berencana menguburnya hidup-hidup.

Dinding labirin mulai longsor. Rosetta segera berbalik dan berlari menjauh, namun kondisi badannya tidak mengijinkannya untuk berlari cepat, ia hanya bisa berjalan cepat dengan tertatih-tatih. Meski demikian, Rosetta berhasil menghindari longsoran dinding labirin, meski nyaris. Rosetta terjatuh berguling namun ia segera kembali bangkit dan terus berlari.

“Nona Rosetta! Percuma kabur!”

Terdengar suara Reno dari balik longsoran, akan makan waktu sampai Reno bisa memanjat longsoran itu.

/007/

Di saat yang sama, Ginny mulai siuman. Dia beruntung karena sudah mendarat di semak-semak yang tebal. Ginny pun merangkak ke sisi semak-semak. Seingatnya, dia terjatuh dari puncak labirin saat sedang melaksanakan tantangan babak pertama turnamen, tapi entah bagaimana sekarang dia berada di dalam sebuah hutan.

“Aku di mana?”

Ginny terus berjalan menyusuri hutan. Butuh beberapa saat hingga ia akhirnya keluar dari lebatnya pepohonan ke sebuah padang rumput. Saat di dalam hutan, Ginny tidak bisa melihat ke langit, tapi begitu sampai di sini ia menemukan sepasang angka sedang menghitung mundur terproyeksi di langit berkata 38:44. Ternyata Ginny masih berada dalam labirin.

Setelah tahu di mana ia sekarang, Ginny menurunkan matanya. Saat itulah dia menemukan sesuatu—atau seseorang—sedang terduduk bersila membelakangi dirinya di tengah padang rumput, diguyur hujan namun ia tidak menghiraukannya. Melihat itu, Ginny segera bersembunyi di balik sebuah pohon.

Siapa itu? Sedang apa dia di sini?

Ginny tidak tahu, namun sepertinya dia tidak mau tahu.

“Sepertinya sudah ada yang datang,” ujar pria yang terduduk di tengah padang rumput.

“Hih!” Ginny terkejut mengetahui pria itu sudah menyadari keberadaannya.

“Aku akui aku nyaris tidak menyadari kedatanganmu, tapi aku masih bisa merasakanmu.”

Pria itu mulai berdiri dan berbalik, dari tempatnya berembunyi Ginny bisa mengintip kalau pria itu masih menutup matanya. Ginny kembali bersembunyi di balik pohon. Dan di antara suara derasnya rintikan hujan, ia mendengar pria itu menyiulkan sesuatu.

Senandung pendek. Merdu dan menghanyutkan. Memaksa Ginny kembali mengintip. Pria itu selesai bersiul, tattoo summoner di atas otot kirinya mulai bersiul. Rupanya yang ia siulkan tadi adalah mantra untuk summoning.

Tattoo itu bersinar dan menyebarkan pecahan cahaya yang kembali menyatu di udara. Perlahan membentuk sesuatu—sesosok yang melayang; seekor burung. Namun bukan burung biasa, burung itu mengepakkan sayapnya sangat cepat sehingga ia tampak seperti melayang. Dan burung itu juga membawa sebilah pisau di kedua kakinya.

“Ersnow,” panggil pria itu, “coba di sana.”

Pria itu menunjuk cukup dekat ke arah Ginny. Ginny melihat Ersnow—burung kolibri beast summon pria itu—mulai melayang ke arahnya, ia pun segera bersembunyi. Saat itulah Ginny mendengar suara mendengung agak tinggi di sekitar atas kepalanya. Mendengar itu, Ginny pun segera menunduk menghindar.

ZING!!

Sebuah suara nyaring diiringi kilatan tipis terbentuk di atas kepala Ginny. Tidak lama kemudian pohon-pohon di sekitarnya mulai bertumbangan. Melihat ini Ginny pun segera merangkak menghindar. BLUGH! BLUGH! Suara pohon berjatuhan ke tanah membuat Ginny sulit fokus, namun untunglah tubuhnya yang kecil membuatnya mudah menghindari pohon yang terjatuh.

Begitu suasana sudah tenang, Ginny mulai berpikir. Sementara itu sang pria masih menerawang sekitarnya dengan mata tertutup.

“Kau masih hidup rupanya. Aku kagum.” Ujarnya.

Dari mana dia tahu?!

Sepertinya tidak mungkin bersembunyi dari pria ini, dan melihat serangannya barusan, tidak akan mudah juga melarikan diri darinya. “Aku harus bertarung.” Ginny yang tadinya enggan bertarung karena takut membuang waktu kini tahu waktunya akan lebih terbuang jika ia tidak bertarung. Dengan ini, dia pun bangkit dari tempatnya bersembunyi.

“Ah, aku tidak menyangka. Lawanku ternyata anak kecil. Perkenalkan, Nak, namaku Mency. Akulah lawanmu malam ini.” Ujar sang pria.

“Anak... kecil?” balas Ginny sambil mengepalkan tangannya. “JANGAN SEBUT AKU ANAK KECIL!!”

Wajah Ginny mulai menegang serius, dia menatap Mency tajam. Dengan tangannya yang terkepal Ginny lalu menunjuk ke arah Mency, dan ia pun memanggil summonnya. “Stand by! Lock on! Summon!”

Tattoo summoner Ginny di keningnya bersinar dan melepaskan kilatan cahaya hingga sampai ke atas kepala Mency. Kilatan cahaya itu lalu menghimpun diri dan mulai membentuk sesuatu; sesosok bertubuh tambun kokoh. Tidak sampai sosok itu terbentuk sepenuhnya sosoknya mulai jelas terlihat.

Di atas kepala Mency melayanglah sesosok figur besar berwarna tembaga tanpa kepala, namun memiliki wajah berbentuk jendela bundar di permukaan dadanya yang menonjol ke atas. Sosok itu tidak tampak bisa terbang, saat pemanggilannya sudah sempurna, barulah gravitasi mulai berlaku padanya dan ia mulai jatuh ke atas Mency. Mency pun segera menghindarinya.

GEDEBUMM!!

Sosok itu mendarat ke atas tanah, menciptakan kawah kecil di tempatnya mendarat. Selain itu bobotnya yang tentu sangat berat itu bahkan sempat menciptakan gelombang kejut dan suara keras.

“Ooh, kau seorang beast summoner juga rupanya,” komentar Mency, “tapi dengan tubuh sebesar itu, aku ragu dia bisa bergerak cepat.”

“Penilaian yang logikal, tapi sayangnya kau salah,” balas Ginny seraya menunjuk ke arah Mency. “Alphonso, serang dia!”

Di luar dugaan, Alphonso melesat ke arah Mency dan segera melepaskan rentetan tinju-tinju dengan kecepatan tinggi. Namun meski demikian, Mency sanggup menghindar darinya dengan mata tertutup.

“Ersnow!”

Mency memanggil summonnya, segera Ersnow melesat ke antara Alphonso dan Mency sementara Mency melompat mundur. Saat Alphonso melepaskan tinju lurus ke arah Mency, Ersnow melepaskan sebuah tebasan ke arah tangan Alphonso. Kedua serangan ini bertabrakan dengan kekuatan yang setara. Menciptakan ledakan udara disertai suara letupan kecil. Keduanya pun berhenti menyerang.

“Boleh juga,” komentar Mency, “tapi aku lihat kau terus menunjuk ke arahku saat summonmu menyerangku. Aku ingin tahu bagaimana jadinya kalau aku menyerangmu sementara summonku membuat summonmu sibuk!”

Mency melesat kearah Ginny, melepaskan serangan bertubi-tubi yang bisa dihindari Ginny dengan melompat ke sana-kemari. Dan benar saya, meski Alphonso masih bisa bergerak, namun gerakannya sangat lambat. Ia hanya bisa menerima tebasan pisau yang dilepaskan Ersnow.

“Kau bukan tandinganku, Nak!” seru Mency sembari terus menyerang Ginny yang tidak bisa melawan.

/008/

Agak jauh di belakang, Striga dan Metel juga masih bertarung sengit. Mereka sudah berpindah agak jauh dari tempat mereka bertemu pertama kali, dan jejak pertarungan mereka meninggalkan banyak jejak gosong di lantai dan dinding labirin yang berasal dari ledakan yang dilepaskan Metel dengan kekuatannya.

“Tukany. Nakm. Mou.”

Saat mereka beradu kekuatan dan sampai di sebuah belokan, tiba-tiba sebuah kilatan cahaya biru menyambar dari atas ke arah Striga. Kilatan itu bukan guntur dari langit, namun sesuatu yang lain; beberapa tombak es. Tombak-tombak es yang kini menancap ke tanah itu menghentikan pertarungan antara Striga dan Metel.

“Wah, wah... Metel... Kau baik sekali menyisakan mangsa untukku,” ujar sesosok pria yang muncul dari belokan.

“Limo. Sedang apa kau di sini?”

“Ini post-ku, lho.”

“Post-mu? Aku tidak sadar kalau aku sudah bertarung sampai berpindah tempat sejauh ini.”

“Tidak apa-apa, pokoknya mulai dari sini biar aku ambil alih.”

“Apa? Tidak bisa, dia lawanku.”

“Tapi ini daerahku.”

Kedua penjaga ini berdebat siapa yang akan menjadi lawan Striga. Striga sendiri tidak keberatan siapa yang akan menjadi lawannya. Mereka terlalu sibuk berdebat sampai Striga seakan dilupakan. Tapi ini kesempatan. Striga segera memasang kuda-kuda dan mulai melesat nyaris tanpa suara ke arah Metel dan Limo.

“Mulai dari sini dia lawanku, kau kembali saja ke post-mu di belakang sana!”

“Enak saja! Aku sudah menghabiskan tenaga—”

Debat mereka berdua tiba-tiba terganggu ketika Striga tiba-tiba melompat ke antara mereka dan melepaskan tebasan memutar ke arah tubuh mereka berdua. Namun Metel dan Limo menghindar dengan melompat mundur.

Striga tidak menyia-nyiakan waktu. Setelah dia memencarkan Limo dan Metel, dia segera mengejar dan melepaskan tebasan-tebasan cepat ke arah Limo. Dia pikir Metel tidak akan menyerangnya jika dia berada dekat dengan rekannya, namun ia salah. Setelah melepaskan 16 kali tebasan tanpa mengenai sasarannya, Metel melepaskan sebuah ledakan di antara Striga dan Limo. Menyadari itu, keduanya pun melompat mundur membuat jarak dari inti ledakan.

“Oy, Metel! Kau ingin membunuhku juga?!”

“Kau saja yang kebetulan berada dekat targetku.”

“Brengsek, kau.”

Ternyata keduanya memiliki hubungan rival. Dengan begini, dinamikanya adalah satu lawan satu lawan satu. Setidaknya masih lebih baik daripada dua lawan satu.

“Oy, Metel. Memangnya kau bisa menang melawan dia? Kau sudah bertarung agak lama dengannya, kan? Lalu kenapa kau belum menang?”

“Apa maksudmu? Apa kau mau bilang aku tidak cukup kuat, heh?”

“Maksudku, aku ragu kau bisa menang. Aku ingin bilang bagaimana kalau kita bekerja sama saja?”

“Kau bilang begitu karena kau tahu kau tidak akan menang melawannya, kan?”

“Memang, karena itulah aku mengusulkan supaya kita menggabungkan kekuatan.”

“...”

Striga tersenyum. Sebenarnya dia tidak suka kalau mereka berdua menggabungkan kemampuan. Yang satu bisa menembakkan ledakan dari jarak jauh, dan yang satunya punya kemampuan untuk menciptakan hujan es. Tapi Striga senang mereka berdua mengakui kemampuannya.

“Kalau begitu, biar aku mulai!”

Limo berseru. Tidak lama kemudian, tombak-tombak es mulai menyambar dari atas. Kalau Limo dan Metel memutuskan untuk menggabungkan kemampuan, menghindar berarti adalah perangkap. Salah satu dari mereka pasti bertugas mengalihkan perhatian sementara yang satunya melepaskan serangan langsung. Karena itulah, Striga memilih untuk menebas tombak-tombak es yang berjatuhan sambil melihat ke arah Metel. Dan benar saja. Saat Striga sibuk menangkis tombak-tombak es, Metel menembakkan sebuah ledakan ke arahnya.

Dengan sigap Striga menghindar dengan bersalto ke belakang. Namun dia melakukan kesalahan. Ternyata serangan langsung bukan dilontarkan oleh Metel, melainkan oleh Limo. Saat Striga menghindar, sebuah tombak es meluncur dari atas tepat ke arah Striga. Striga mencoba menghindar dengan berputar horizontal saat bersalto. Tombak es itu berhasil Striga hindari, meski begitu tombak itu menggores pundak kiri Striga.

Sebenarnya Striga sudah biasa menerima luka gores dan sayatan, namun kali ini berbeda. Tombak yang menggoresnya terbuat dari es, luka yang dibuatnya terasa panas hingga akhirnya mendingin dan terasa normal. Sepertinya tombak es itu terbuat dari es yang sangat dingin. Akan sangat berbahaya jika sampai tertusuk olehnya.

“Kau benar juga, Limo. Dengan begini tugas kita akan lebih cepat selesai.”

“Kalau begitu, sekali lagi! Kali ini lepaskan ledakan ke arah tombak esku! Jangan banyak tanya!”

Setelah memberi instruksi, Limo sekali lagi menciptakan hujan tombak es di atas Striga. Sementara Striga menangkis tombak-tombak es dengan pedangnya, Metel pun melakukan apa yang Limo instruksikan. Ledakan tercipta di antara hujan tombak es, selain mengalihkan perhatian Striga, namun juga membuat tombak es tidak lagi jatuh lurus. Tombak-tombak es pecah menjadi kepingan yang lebih kecil dan berpencar menutupi area yang lebih besar.

“Metel! Kelilingi dia dengan ledakan!”

Metel segera menuruti perintah Limo dan melepaskan sebanyak mungkin ledakan yang ia bisa. Tombak es berubah menjadi serpihan-serpihan tajam yang sulit diprediksi arah datangnya. Striga terperangkap di tengah-tengah hujan serpihan es dan ledakan. Tidak sanggup mengimbangi, tombak es dan serpihan es mulai menggores tubuhnya dengan bertubi-tubi, meski lukanya kecil namun jumlahnya banyak, rasa sakitnya pun terhimpun menjadi tak tertahankan.

Striga tahu dia harus melakukan serangan balasan atau dia akan gugur di sini. Dan dia tidak ingin kalah di sini.

Dengan sisa-sisa kesadarannya, dia mempertaruhkan jiwanya untuk berpikir. Serangan Limo dan metel tidaklah sempurna. Serangan Limo tidak memiliki tempo, namun serangan Metel punya jeda, karena itulah ada tombak es yang lolos dari ledakannya. Dengan ini, Striga punya rencana. Meski begitu, taruhannya lumayan besar.

Striga menarik nafas, dan dengan sisa-sisa kekuatannya dia mencoba menangkis serpihan es yang beterbangan di sekitarnya menggunakan pedangnya. Dia menanti sesuatu; sebuah tombak es yang lolos dari ledakan Metel. Untungnya tidak lama sampai sebuah tombak es jatuh dari atas. Tombak es utuh memiliki trayektori lurus, paling mudah untuk ditebak jalur jatuhnya

Saat ia melihat tombak itu, ia segera meluruskan pedangnya ke arah Limo dan memutar gagangnya. Bagian bawah gagangnya meledak dan pedangnya melesat ke arah Limo, biasanya Striga ikut terbawa dengan pedangnya, namun kali ini ia melepaskan pedangnya untuk terbang sendiri ke arah Limo. Limo yang tidak menyangka Striga bisa melakukan serangan balik hanya bisa berdiri melihat sebilah pedang terbang lurus ke arah dadanya.

Di saat yang sama, Striga menangkap tombak es yang jatuh. Benar saja, tombak itu sangat dingin sekali, menyentuhnya dua detik saja sudah cukup untuk membuat tangan Striga mati rasa. Sebelum ia kehilangan tangannya, Striga segera mengambil ancang-ancang dan melemparkan tombak itu ke arah Metel. Metel juga tidak menduga Striga bisa melakukan serangan balik seperti ini, dia pun tidak sempat menghindar.

Pedang milik Striga menembus tubuh Limo, momentumnya yang kuat membuat Limo terdorong ke belakang hingga pedang Striga menancap ke dinding. Sementara itu tombak es menembus pundak Metel. Dinginnya tombak es itu memberikan rasa sakit menyengat yang tak tertahankan, Metel menjerit kesakitan dan tidak lama dia pun jatuh lumpuh tak sadarkan diri. Sementara Limo terkulai lemas terpaku di dinding.

Hujan es mereda. Striga masih berdiri dengan luka sayat di sekujur tubuhnya. Sakit fisiknya tidak sebanding dengan sengatan dinginnya. Untungnya tidak butuh lama sampai sengatan dingin itu mereda, darah dan dingin tersapu oleh hujan.

Setelah Striga bisa mengontrol nafasnya, ia berjalan mendekati Limo dan mencabut pedang dari dadanya. Tubuh Limo tumbang lemas namun Striga tidak memperdulikannya. Segera dia pun melontarkan dirinya ke atas dinding dan kembali ke tujuannya memisahkan diri dengan Ginny; mencari dan memastikan Rosetta masih baik-baik saja.

Di puncak dinding, ia memandang ke sekitar. Dia masih kurang dari setengah jalan menuju ujung labirin ini. Untungnya tidak jauh di kanannya, dia melihat kepulan asap melawan hujan. Itu bukan arah ke mana Ginny pergi, berarti di sanalah Rosetta berada.

Penunjuk waktu di langit kini menunjukkan 31:28.

/009/

Sedikit jauh dari tempat Striga berada dan beberapa waktu sebelumnya, Rosetta masih berjalan tertatih-tatih tanpa arah menghindari Reno. Padahal Reno hanya berjalan biasa, namun karena Rosetta yang tidak bisa berlari, Reno selalu bisa mengejarnya, bahkan sesekali mencegat jalan Rosetta dengan melongsorkan dinding labirin.

Setelah membuat jarak dengan Reno, Rosetta bersembunyi di balik sebuah dinding belokan untuk menarik nafas. Namun sayang, ternyata di belokan itu sesosok pria ternyata sudah menunggunya.

“Kupanggil murkamu, Elzemoth!”

Rosetta berbalik mendengar suara itu. Tidak hanya ia menemukan sesosok pria, dia juga menemukan lantai menyala hijau di hadapannya. Melihat itu, Rosetta segera melompat ke samping, tepat sebelum lantai yang menyala itu menyemburkan pilar api hijau ke udara.

“Di sana kau, rupanya...”

Reno menemukan Rosetta. Sementara pria satunya berlari ke arah Rosetta, segera Reno menginjak tanah, menciptakan jalur retakan tanah yang menjalar hingga ke dinding labirin di belakang Rosetta.

Rosetta menghindari longsoran dinding, namun pria satunya justru berjalan tepat ke arah jalur longsoran. Melihat itu, pria itu segera menghindar dengan melompat mundur menjauhi Rosetta. Rosetta sendiri merangkak sekuat tenaga menghindar, dan untungnya dia berhasil.

“Ooh, Assirot. Kau di sini juga?”

“Reno! Pantas saja. Cuma kau orang bodoh yang membabi-buta menghancurkan labirin hanya untuk membunuh seekor semut.”

“Haah?! Apa katamu?!”

“Lupakan. Sedang apa kau di sini?”

“Memburu mangsa, tentunya.”

“Kau sadar kalau kau sudah meninggalkan post-mu, kan?”

“Post-ku? Kau ini bicara apa? Bukannya kau yang sudah—”

“Lihat ke belakang, goblok!”

Di belakang Reno, terlihat reruntuhan dinding labirin. Jika dilihat dari atas, Reno sudah meruntuhkan banyak sekali dinding di seperlima bagian pertama dinding labirin.

“Ah, aku baru sadar,” komentar Reno polos.

“Memangnya kau sudah kakek-kakek?!”

“Yeah, maaf. Kalau begitu, aku permisi sebelum mangsaku kabur.”

Sementara Reno dan Assirot berdebat, Rosetta sudah melarikan diri dan membuat jarak di antara mereka. Dia terus berjalan menyusuri labirin. Agak lama ia mengikuti koridor hingga akhirnya dia bertemu dengan sebuah jalan buntu.

“Ah, sial!” sumpah Rosetta. Padahal sudah agak jauh dia dari belokan terakhir.

Mau tidak mau, Rosetta berbalik. Namun belum jauh dia berjalan dia melihat dua bayangan mendekat dari belokan. Rosetta terjebak.

“Assirot! Kau pulang sana!”

“Enak saja!”

Dari belokan Assirot dan Reno berlari saling berbalap beriringan. Di sini Rosetta sempat terpikir untuk mencoba melawan, namun saat mencoba berlari, kakinya terasa masih sakit, tidak mungkin bertarung dalam keadaan begini.

“ITU DIA!!”

Assirot dan Reno bersahut berbarengan. Tanah di hadapan Rosetta kembali menyala hijau sementara Reno menginjak tanah dan membuat retakan tanah yang menjalar lewat bidang tanah yang menyala hijau ke jalan buntu di belakang Rosetta. Dinding di belakangnya mulai longsor dan runtuh, sementara di hadapannya tanah yang menyala hijau sudah semakin terang. Rosetta pun mau tak mau menjatuhkan diri ke samping, setidaknya menjauhi kedua serangan musuhnya itu.

Tidak sengaja efek magic Reno dan Assirot bercampur. Pilar api hijau yang dibuat Assirot berada tepat di jalur retakan tanah Reno, akibatnya tanah menjadi panas dan menyembur ke atas, menciptakan semprotan lava hijau yang muncrat ke atas. Melihat ini, Rosetta merangkak mundur ke arah longsoran dinding, mencoba menjauh dari banjiran lava hijau.

“Assirot, sudah kubilang mundur!”

“Dan aku sudah bilang aku tidak mau! Kau yang mundur!”

Keduanya masih bisa berdebat sambil terus mendekati Rosetta, sementara lava hijau mendingin terkena hujan.

Berkat serangan Reno, ada celah yang terbuka di dinding labirin. Namun tingginya sekitar delapan meter. Jika Rosetta ingin melarikan diri, celah itu adalah satu-satunya jalan. Namun saat Rosetta mencoba memanjatnya, ia selalu tergelincir setiap dua atau tiga langkah.

“Kau sudah tidak bisa lari lagi, Nona Rosetta!” seru Reno mengancam.

Rosetta hanya bisa membela dirinya dengan melempari Assirot dan Reno dari ketinggian satu setengah meter. Lemparannya kadang kena dan kadang tidak. Namun meskipun kena, batu itu ditepis dengan mudah oleh Reno dan Assirot.

Tunggu dulu! Batu!

Rosetta seakan tersadar saat sedang melempari lawannya dengan bebatuan. Rosetta punya rencana, tapi meskipun ia melakukannya, dia hanya akan bisa melumpuhkan satu dari dua lawannya.

Lebih baik daripada tidak sama sekali.

Sementara kedua lawannya terus mendekat sambil berdebat sendiri, Rosetta terus memanjat reruntuhan sambil terus menyambiti mereka dengan bebatuan. Sepintas perlawanannya ini terbilang percuma, namun sebenarnya dia sedang memancing kedua lawannya.

“Assirot! Ini peringatan terakhirku! Kalau kau tidak mundur aku akan menghabisimu setelah aku menghabisi dia!”

“Oh?! Kau mau menghabisiku bagaimana, hah?! Asal kau tahu ilmumu tidak akan berguna padaku!”

Legos... Bogy... Kyuba.

Rosetta berbisik merapalkan mantra summonnya. Lokasi tattoo summonernya yang berada di tengkuk membuat kedua lawannya tidak menyadari kalau Rosetta sudah melakukan summoning. Sebuah batu berbentuk lonjong di satu ujung dan lancip di ujung satunya muncul di tangannya. Tanpa kedua lawannya curiga, Rosetta pun menyambitkan batu itu ke arah Reno.

“Sombong sekali kau! Kalau kau sudah kukubur hidup-hidup aku ingin tahu apa kau masih bisa sombong atau tidak——”

Reno yang tidak curiga menangkap ujung lonjong batu itu dengan tangannya. Begitu batu itu bersentuhan dengan telapak tangannya, ekspresi Reno berubah. Pertama wajahnya mendatar, lalu ia mulai panik. Dia menjatuhkan batu di tangannya dan mulai menjerit sambil tangan kanannya memegangi tangan kirinya.

“AHHHHHHH!!!” jerit Reno kesakitan.

“Oy, Reno! Kenapa kau?!”

Namun Reno tidak menjawab, dia malah berlutut dan menjatuhkan diri. Dia mengerang dan berguling-guling kesakitan sambil terus memegangi tangannya, tidak mampu berkata apa-apa kecuali jeritan tanpa akhir.

“Kau!” Assirot berbalik melihat ke arah Rosetta, “kau apakan Reno, hah?!”

Rosetta tidak menjawab, dia tahu setelah melumpuhkan satu orang, Rosetta tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

“Brengsek! Rasakan ini!”

Assirot membentangkan tangannya. Gundukan longsoran batu yang diduduki Rosetta mulai menyala hijau. Diameternya besar, sekitar 5 meter. Dengan posisi dan keadaannya sekarang, dia tidak akan bisa menghindar.

Rosetta pun pasrah.

“Kupanggil murkamu! Alzemo——”

ZING!!

Sesosok gadis mendarat di pundak dan punggung Assirot dengan tangannya menghunuskan pedang. Bersamaan sebilah pedang menembus punggung Assirot ke dadanya. Gadis itu adalah Striga.

“Rosetta! Sedang apa kau melamun?!”

“Striga!”

Sembari mencabut pedangnya dari tubuh Assirot, Striga menjatuhkan diri ke samping sambil memutar badannya. Tubuh Assirot ikut terbawa dengan ayunan pedang Striga. Dan begitu Striga mendarat ke tanah, dia melempar Assirot ke dinding dengan menebaskan pedangnya ke samping.

“Kau baik-baik saja?” tanya Striga mengulurkan tangan pada Rosetta yang terduduk di gundukan batu.

“Y— Ya. Ginny di mana?”

“Aku menyuruhnya pergi duluan. Kalau tidak ada halangan mestinya dia sudah sampai di ujung.”

“Kalau begitu semestinya pertarungan ini sudah selesai.”

Namun melihat penghitung waktu yang masih menghitung mundur di langit, keduanya tahu kalau Ginny pasti menemukan masalah.

“Kita harus segera mencari Ginny, berikan tambangmu.”

“Tunggu, terakhir kali kau membawaku terbang, perutku sakit lima menit. Kali ini kita ambil jalan darat.”

“Kau ini bagaimana? Akan makan waktu lama untuk mencari jalan di labirin sebesar ini.”

“Tidak kalau kita punya bantuan orang seperti dia.”

Rosetta menunjuk ke arah Reno yang masih mengulum dirinya dengan urat leher tegang seakan menahan rasa sakit yang luar biasa.

/010/

Jam di langit menunjukkan 29:41. Ginny sedang menghindari serangan Mency sementara Alphonso—beast summon milik Ginny—hanya bisa menerima serangan bertubi-tubi dari Ersnow—beast summon milik Mency. Untungnya tubuh Alphonso terbuat dari metal keras, jadi ia masih bisa bertahan meski ia menerima banyak serangan.

Yang menjadi masalah adalah Mency. Mency bisa bertarung sendiri tanpa Ersnow sementara Ginny tidak bisa. Karena itu selama beberapa menit belakangan Ginny hanya bisa berlari menghindar ke sana-kemari tanpa bisa melancarkan serangan balasan. Dan semua itu Mency lakukan tanpa membuka matanya.

Saat Mency hendak menendang Ginny, Ginny menyelinap ke bawah kaki Mency dan berlari ke arah Alphonso. Mency mengejar Ginny sampai dia merasakan Ginny memanjat punggung beast summonnya. Hingga kemudian Ginny sampai di pundak Alphonso, Ginny barulah menunjukkan jari tangannya ke bawah.

“Al! Bawah!”

Sambil masih tidak menghiraukan serangan dari Ersnow, wajah jendela bundar Alphonso menyala dan Alphonso menggempurkan tinjunya ke tanah, menciptakan gempa kecil dan melepaskan gelombang kejut yang menghempaskan angin dan bebatuan ke segala penjuru. Termasuk menghempaskan Ersnow dan Mency.

Mumpung kedua lawannya sedang terjerembab, Ginny mengambil kesempatan memanjat tubuh depan Alphonso dan menunjuk ke depan. Spontan Alphonso mulai berlari ke depan dengan semangat, menyebrangi padang rumput. Namun belum jauh dia berlari, tiba-tiba muncullah sesosok bermata merah melayangkan tinjunya ke arah Alphonso.

DHWANG!!

Tinju sesosok manusia kambing raksasa mendarat di pundak Alphonso, seketika melemparkannya jatuh dari keseimbangan. Alphonso terjatuh dengan Ginny berada di dekapanny, untungnya dia tidak kenapa-napa. Hanya saja butuh waktu hingga Alphonso bisa bangkit kembali, dan momen ini dimanfaatkan seorang pria untuk berjalan mendekat dan menginjak kepala Alphonso.

“Tuan Glaive...”

“Mency,” jawab pria yang sedang menginjak kepala Alphonso, “tidak salah aku memutuskan menghampirimu. Kau tahu, akan lebih mudah jika kau bertarung dengan mata terbuka.”

“Tuan Glaive, Anda tidak sepatutnya berada di sini.”

“Aku bosan menunggu. Tidak ada yang kunjung datang ke daerah yang kujaga.”

“Sejujurnya saya akan merasa lebih lega jika tidak ada yang menghampiri Anda sepanjang pertarungan.”

“Hah? Kau meragukan kemampuanku?”

“Tidak sama sekali, hanya saja saya takut Anda justru menghalangi saya.”

“Sama saja, itu artinya ka—ABBAGH!”

Glaive yang terlalu sibuk berbincang dengan Mency gagal menyadari kalau Ginny sudah menunjuk ke arahnya. Alphonso pun melepaskan sebuah tamparan ke arahnya. Glaive terhempas dan terguling agak jauh.

Melihat Glaive terhempas, Mency mulai bersiul dan Ersnow pun melesat maju.

“Al! Tornado!”

Seraya berlari menghindar dari Alphonso ke arah hutan, Ginny memberi komando padanya. Kontan Alphonso melompat berdiri dan merentangkan tangan. Secara eksponential tubuh atas perlahan berputar seperti kipas. Ersnow yang melesat ke arahnya menjadi tidak bisa berhenti dan tertampar oleh tangan Alphonso.

“Ersnow!” sahut Mency melihat summon beastnya terbanting ke tanah.

Alphonso terus berputar menciptakan pusaran angin, pusarannya sangat kuat sampai hujan pun berhenti jatuh di sekitarnya. Bahkan Ginny sampai harus berpegangan erat ke sebuah pohon untuk bertahan dari tarikan pusaran angin itu. Namun sayang, perputaran tubuh Alphonso terganggu oleh sesosok yang tiba-tiba melesat berkelebat, beradu dengan sisi tubuh Alphonso membuatnya kehilangan keseimbangan.

Alphonso terjerembab, sementara satu sosok berkaki empat mendarat di belakangnya. Sosok itu adalah seekor singa bertanduk emas, dan seorang wanita bertampang bengis duduk di punggungnya.

“Nona Roxy!” Mency menyahut kepada sosok yang duduk di atas singa bertanduk emas.

“Ooh, Mency. Ah, Glaive juga di sini, rupanya.”

“Roxy...” Glaive membalas sapaan Roxy sambil mengusap-usap rahangnya yang masih nyeri.

“Kalian payah sekali, ya? Padahal berdua—laki-laki lagi—tapi masih kalah pada satu anak kecil.”

“Ohh, kalian ini yang benar saja. Ini daerahku!”

“Mency, kau diam saja. Kau juga, Glaive. Kalian sudah terbukti tidak becusnya.”

Alphonso sudah setengah berdiri, dan mumpung ketiga lawannya masih sibuk berdebat, Ginny pun menunjuk ke arah Roxy.

“Nona Roxy! Awas belakang!”

“Aku sudah tahu!”

Roxy menarik surai beast summonnya. Singa itu berbalik di atas dua kaki hingga akhirnya ia menghadap ke arah Alphonso dan mereka pun bertubrukan. Keduanya beradu seperti pemain sumo.

Mency pun tidak diam saja, melihat Roxy dan Alphonso beradu, ia segera berlari ke arah Ginny, tidak secara langsung, namun ia mengambil jalan memutar lewat hutan. Ginny yang sedang terfokus mengarahkan Alphonso gagal menyadari ini, ia baru melihat kedatangan Mency ketika Mency sudah tinggal tiga langkah untuk memukul Ginny.

Namun tiba-tiba, retakan tanah menjalar ke arah Roxy dan Alphonso dan ke arah Ginny dan Mency. Tanah yang retak itu pun meledak di antara mereka. Keempatnya itu masing-masing terhempas dan terjatuh. Roxy sampai terjatuh dari tunggangannya, sementara Mency segera bisa bangkit setelah terjungkal satu kali.

Sekarang apa lagi?!” batin Ginny kesal.

“Ginny!”

Suara yang akrab memanggil nama Ginny. Ginny yang masih kaget pun berbalik, ia menemukan Rosetta sedang menodongkan relic summonnya ke arah Reno yang kedua tangannya terikat ke belakang. “Kak Rosetta!” Sapa Ginny balik.

“Tsk! Magic summoner memang tidak berguna!” kutuk Mency seraya bersiul dan berlutut di satu kaki. “Ersnow! Overslash; Bulan purnama!”

Ersnow yang sudah bangkit segera melesat ke antara semua petarung. Reno, Glaive, dan Roxy yang mendengar perintah Mency segera menunduk. Sementara Ginny dan Rosetta yang tidak tahu apa-apa hanya bisa tertegun menunggu apa yang akan terjadi.

Ersnow mengambil ancang-ancang, pisau yang dibawanya sedikit bergoyang sebelum ia mengayunkannya dengan kencang, meninggalkan kilatan putih bagaikan bulan sabit.

TZWANG!!

Untungnya sebelum Ersnow bisa membuat setengah tebasan berputar, sebilah pedang menangkis pisau Ersnow dan membatalkan serangannya. Meski demikian, beberapa pohon di hutan sempat terkena tebasan Ersnow dan mulai bertumbangan. Mency, Roxy, dan Glaive terkejut ada orang yang sanggup menghentikan serangan maut Ersnow.

“Semuanya! Jangan Melamun! Serang! SERAAANG!” Glaive yang tersadar pertama kali segera memberi komando pada rekan dan beast summonnya. Mendengar itu, Roxy kembali menunggangi singanya, dan Mency kembali menyerang Ginny.

“Maaf, Reno. Aku harus memastikan kau tidak kabur.”

“Hah? Apa maksud—OHHHH!!!”

Rosetta lalu menempelkan ujung tumpul batunya ke leher Reno dan membiarkannya terjatuh ke tanah. Setelah itu ia menempelkan ujung lancip ke tangannya sendiri. Kontan efek sentuhan itu memberikannya kekuatan untuk tidak menghiraukan rasa sakit dari lukanya untuk sementara waktu. Wajahnya yang datar pun berubah menyeringai.

Roxy dan tunggangannya sedang beradu melawan Alphonso dibantu oleh manusia kambing milik Glaive, sementara Striga sedang beradu pedang melawan Ersnow. Di seberangnya Mency sedang mencoba menyerang Ginny yang hanya bisa menghindar tanpa bisa melawan balik. Ginny butuh bantuannya, Rosetta pun memutuskan untuk berlari ke arah Ginny dan Mency. Dan begitu ia sampai cukup dekat Rosetta pun melepaskan tendangan terbang ke pundak Mency.

“Lawanmu adalah aku!” Seru Rosetta setelah memisahkan Mency dari Ginny.

/011/

Setelah dibantu Rosetta, Ginny segera melarikan diri. Ia tidak mencari tempat aman, namun tidak terlalu jauh dari Alphonso. Dari sana ia menunjuk-nunjuk Roxy dan manusia kambing secara bergantian.

Manusia kambing terus melancarkan serangan dengan kedua tinjunya sementara Roxy memaksa singanya untuk berdiri di atas dua kaki dan mencakar-cakar tubuh Alphonso. Alphonso sendiri tidak terlalu menghiraukan serangan mereka meski serangan-serangan itu mulai meninggalkan luka cakar dan luka penyok di permukaan tubuhnya.

Alphonso lebih banyak menerima serangan daripada mendaratkan serangan. Manusia kambinglah yang lebih mudah diserang karena ia tidak jatuh ke atas empat kakinya setiap kali ia melakukan serangan seperti Roxy dan tunggangannya. Namun manusia kambing ini jauh lebih kuat pertahanannya dibandingkan dengan sang singa, bahkan setelah enam kali menerima pukulan besi Alphonso, manusia kambing itu masih sanggup berdiri dan bertarung.

Setelah agak lama mengarahkan Alphonso, Ginny menemukan Glaive juga seperti sedang mengarahkan beast summonnya di sisi lain lapangan. Melihat itu, Ginny pun mulai berlari mengitari arena pertarungan ke arah Glaive sambil masih mengarahkan Alphonso.

Sambil masih menunjuk ke arah manusia kambing, Ginny melepaskan tendangan ke pipi Glaive. Glaive menerima serangan Ginny karena ia tidak menyadari kedatangan Ginny. Serangan Ginny tidak kuat, namun cukup untuk mendorong Glaive ke samping.

“Anak kecil sialan!”

“Jangan panggil aku anak kecil!” Seru Ginny seraya melompat dan menunjuk ke arah Glaive. “AL! ROCKET PUNCH!”

Mendengar perintah majikannya, Alphonso segera berdiri tegak menghadap Glaive dengan tangan terkepal ke arahnya. Meski dihujani serangan bertubi-tubu, lengan kanan di bawah sikunya mulai berasap hingga akhirnya siku kanannya meledak, melontarkan lengannya ke arah Glaive dengan kecepatan tinggi.

“Lepaskan aku!”

Ginny menangkap tangan Glaive dan menariknya, menahannya agar tidak kabur. Glaive hanya bisa meronta, namun percuma. Pantulan tinju besi Alphonso di bola mata Glaive semakin membesar sebelum akhirnya mendarat di dada dan kepala Glaive. Berat dan momentumnya cukup kuat untuk menyapunya terbang beberapa belas meter hingga terjungkal dan berguling-guling. Bahkan sebelum dia berhenti, dia sudah kehilangan kesadaran. Seketika itu juga manusia kambing kehilangan kesadara sebelum terjatuh ke belakang dan pecah menjadi serpihan cahaya.

“Satu tumbang, sekarang giliranmu!”

Ginny berbalik dan sekarang fokus menunjuk ke arah Roxy dan tunggangannya. Roxy mencoba melawan, dengan mencakar-cakar jendela bundar wajah Alphonso. Namun bukannya menyakitinya, Alphonso justru memanfaatkan saat singa tunggangan Roxy menyerang di atas dua kaki dengan menangkap lehernya menggunakan tangan kirinya yang masih tersisa.

Singa itu mencoba mencakar-cakar dengan membabi-buta untuk melawan, namun percuma. Alphonso justru menanduk sang singa untuk melemahkannya. Setelah singa itu jinak, Alphonso melanjutkan serangan dengan membanting singa itu ke tanah. Tidak hanya sekali, namun empat kali sampai singa itu benar-benar kehilangan kesadaran.

Tidak berhenti di sana, Alphonso lalu menangkap kaki Roxy dan membanting-bantingkan tubuhnya ke tanah seperti cambuk berulang kali. Roxy masih sadar setelah empat kali terbanting, namun ia sudah tidak bisa bertarung. Alphonso yang memeganginya terbalik di kakinya pun melepaskan cengkramannya dan membiarkannya jatuh.

Dengan ini, Ginny sudah mengalahkan dua lawannya.

Ginny lalu berbalik, dia menemukan kedua rekannya masih sedang bertarung sengit melawan lawannya masing-masing. Sudah jelas kalau dia harus membantu mereka.

“Al! Ambil tanganmu, setelah itu kita bantu mereka!”

/012/

Beberapa saat sebelumnya di tempat yang sama, Striga dan Ersnow masih beradu ilmu pedang. Lawannya hanya seekor burung, namun bukan burung yang bisa terbang melesat cepat melainkan burung yang bisa melayang. Gerakannya gesit, namun tidak cukup gesit untuk tidak bisa Striga imbangi.

Hanya saja di situlah masalahnya, kecepatan Striga dan Ersnow pada dasarnya seimbang. Setelah beradu pedang selama beberapa menit, belum ada dari mereka yang melukai maupun terlukai satu sama lain.

Sementara sedikit di belakang Striga, Rosetta dan Mency juga sedang beradu tinju. Keduanya juga bisa dibilang seimbang. Hanya saja tidak seperti Striga, keduanya sudah melakukan kesalahan sehingga keduanya sudah saling terluka dan saling melukai.

Kedua pertarungan ini sangat sengit, bahkan setelah lima menit tanpa henti pertarungan ini belum kunjung berakhir juga. Untungnya tidak lama kemudian, pertarungan antara Ginny dan Roxy dan Glaive sudah selesai. Sesaat Alphonso memasang kembali tangannya yang ia tembakkan sesaat sebelumnya dan segera berlari ke arah rekan-rekannya.

“Kak Rosetta! Kak Striga! Awas!”

Mendengar peringatan Ginny, Rosetta dan Striga bersiaga tanpa menurunkan tempo serangan mereka. Di antara pertarungan keduanya, Alphonso menggempurkan kedua tangannya ke tanah, menciptakan gempa kecil dan melontarkan bebatuan ke segala arah.

Karena terkejut, Mency dan Ersnow kehilangan tempo sementara lawan mereka tidak. Momen ini dimanfaatkan Rosetta dan Striga. Striga menangkis keras ayunan pedang Ersnow dan melompat membuat jarak. Namun sebelum ia mendarat, ia menghunuskan pedangnya ke depan dan memutar gagang pedangnya.

Ledakan tercipta di belakang pedang bermata dua itu, melontarkannya maju dengan momentum yang di luar kemampuan Ersnow untuk hentikan atau hindari. Ujung pedang itu menembus dada Ersnow beserta sebagian sebelah sayapnya. Ersnow kejang-kejang tanpa suara dengan tubuh tersembus sebelum akhirnya berhenti bergerak. Striga pun mengayunkan pedangnya untuk menyingkirkan burung kolibri itu dari pilah pedangnya.

“ERSNOW!!”

Mency menyahut setelah mematahkan rantai serangan Rosetta dan membuat jarak. Perhatiannya teralihkan, kesempatan bagi Rosetta untuk menyelesaikan pertarungan.

“Rosetta! Kau butuh bantuan?”

“Tidak perlu!”

Segera ia berlari ke arah Mency dan menanduknya, tidak kuat, hanya pengalih agar Rosetta punya cengkraman ke tubuh Mency. Mency mencoba menyiku punggung Rosetta, namun saat ia mengambil ancang-ancang dengan mengangkat tangannya, ia menciptakan ruang untuk Rosetta bergerak. Rosetta memanfaatkannya dengan mengalihkan cengkramannya ke punggung pinggang Mency.

“Wha— Whaa—”

Mency mulai panik. Sementara Ginny dan Rosetta hanya bisa menonton saat Rosetta mengangkat tubuh Mency dengan melentingkan tubuhnya ke belakang.

“ALSATEN GERMAN SUPPLEX!!”

Rosetta berseru seraya membantingkan tengkuk Mency ke tanah menggunakan kelenturan badannya. Teknik ini asing di mata Ginny dan Striga, mereka pun terheran-heran dengan mulut sedikit menganga.

S— Supplex?!” pikir Ginny.

G—German...?” pikir Striga.

Leher Mency terkilir dan tertekan menerima serangan ini, belum lagi trauma kepala yang diterimanya. Mency pun jatuh tak sadarkan diri dengan lubang hidung meneteskan darah.

“Kak Striga, Kak Rosetta, kalian baik-baik saja?”

“Yeah, untuk saat ini,” balas Rosetta

“Waktu kita tinggal sedikit, kita harus segera menyelesaikan pertarungan ini,” timpal Striga.

“Aku setuju,” lanjut Ginny, “apa kita lari lewat atas lagi?”

“Tidak. Biar kubangunkan Reno, kita ambil jalan bawah.”

“Reno?”

“Orang yang kejang-kejang di tanah itu,” komentar Striga menjelaskan.

“Oh, dia bisa membuat jalan?”

“Seperti itu, lah.”

Penghitung waktu di langit menunjukkan 18:41. Sementara itu di ujung labirin, seorang wanita terduduk di anak tangga terbawah di mana di puncak tangga sebuah bendera berlambang kepala singa tengah berkibar berat, terkena hujan dan tertiup anginnya. Wanita itu mengenakan gaun seragam yang sama yang dikenakan penjaga-penjaga labirin lain, hanya saja ia juga mengenakan jubah berbulu berwarna krem.

Wanita itu tengah menanti kedatangan tamu-tamunya, namun sebelum orang yang ia tunggu datang, penantiannya terganggu oleh kedatangan orang-orang yang tidak ia harapkan. Dari satu-satunya lorong yang mengarah ke ujung labirin ini, datanglah dua orang pria.

“Rufus? Shackelbold? Sedang apa kalian di sini?” tanya sang wanita.

“Tenanglah, Nona Neue. Kami di sini bukan karena ingin merebut daerahmu, kami di sini karena ingin meremaikan titik akhir,” jawab pria yang bernama Rufus.

“Semua orang bodoh di tengah labirin sudah tumbang, yang tersisa hanya tinggal kita.” Lanjut pria bernama Shackelbold.

“Kalian juga bodoh kalau kalian pikir aku punya keinginan bertarung bersama kalian,” balas Neue.

“Sudah kubilang, kami di sini bukan karena ingin merebut daerahmu.”

“Ya, kami di sini hanya ingin memastikan kalau kekuatan-kekuatan terbesar di labirin ini ada di tempat yang tepat. Dengan keberadaanku dan Rufus di sini, mereka pasti kecewa kalau tumbang tepat di hadapan objektif mereka.”

“Hah,” Neue menghela nafas, “terserah kalian. Tapi aku tidak akan membantu kalian sama sekali, aku baru akan ikut campur jika kalian ditumbangkan oleh mereka. Mengerti?”

“Memang itu keinginan kami,” komentar Rufus.

/013/

Sedikit di sisi lain labirin, Striga, Ginny dan Alphonso, dan Rosetta dan Reno sedang berlari berrombongan. Reno yang tangannya terikat di belakangberlari paling depan, didorong oleh Rosetta. Seringkali mereka berdebat, namun Rosetta selalu berhasil membungkamnya dengan mengancamnya menggunakan relik batu di tangannya.

Di belakang mereka, Ginny dan Alphonso berlari mengikuti. Alphonso lah yang mendobrak tiap dinding yang diretakkan oleh Reno dan menciptakan jalan pintas melewati labirin. Sementara di paling belakang Striga mengekori.

Setelah berlari lurus beberapa saat, Striga merasakan ada yang aneh. Perjalanan mereka kali ini terlalu mulus. Dia yakin akan ada kejutan terakhir yang menanti mereka.

“Reno! Retakkan dinding itu!” perintah Rosetta.

“Lagi?! Sampai kapan kau mau memanfaatkan kekuatanku seperti ini?! Ini sudah kedua puluh kalinya!”

“Kau ini perhitungan, ya?! Aku baru menyengatmu dua kali, lho?! Atau kau mau aku samakan angkanya?!”

“Kurang ajar!”

Sekalli lagi Reno mengerahkan kekuatannya untuk menginjak tanah dan menciptakan jalaran terakan tanah ke arah dinding. Begitu retakan menciptakan lingkaran besar, Alphonso segera menerjang dan mendobraknya, sekali lagi menciptakan jalan pintas.

Tidak seperti sebelum-sebelumnya, di mana setelah menembus tembok mereka dihadapkan ke depan sebuah lorong atau bahkan lapisan dinding lain, kali ini mereka sampai di sebuah ruangan di mana di ujungnya ada sebuah altar tangga yang mana di puncaknya ada sebuah tiang bendera mengibarkan bendera kota Metronord.

“Itu dia!” seru Rosetta melihat bendera yang menjadi tujuan mereka.

“Tunggu dulu! Sekarang nasibku bagaimana?” tanya Reno ragu.

“Ya, terima kasih sudah mengantarkan kami ke sini.”

Rosetta lalu mengayunkan tangannya ke arah leher Reno, membacoknya dengan sisi tangannya hingga Reno kehilangan kesadaran. Keempat petarung ini pun segera berlari ke arah bendera, namun mereka segera dihadang oleh dua pria. Dua pria itu adalah Rufus dan Shackelbold. Para peserta segera memasang kuda-kuda dan bersiaga.

“Siapa kalian?”

*Plok* *Plok* *Plok*

Suara tepuk tangan terdengar di tangga, dari seorang wanita yang lalu duduk di antara anak tangga. “Pertama-tama, kuucapkan selama karena sudah sampai sejauh ini. Namun sayang, kalian harus berhenti di sini. Rufus, Shackelbold, kuucapkan selamat bersenang-senang!”

Segera Rufus dan Shackelbold menyerang. Keduanya tidak menyerang hanya satu orang, namun dua. Shackelbold menyerang Ginny dan Rosetta, sementara Rufus menyerang Alphonso dan Striga.

Shackelbold dan Rufus adalah petarung jarak dekat yang tangguh, bahkan petarung tangguh di tim 12 sampai kewalahan melawan mereka.

Ginny memang tidak banyak membantu Rosetta dalam melawan Shackelbold, namun ia cukup membantu dalam mengalihkan perhatian Shackelbold. Rosetta bisa mendaratkan pukulan dan tendangan ke arah Shackelbold berkat Ginny yang lincah menghindari serangan Shackelbold, namun tidak sulit juga baginya untuk melancarkan serangan balik kepada Rosetta. Dan selincah-lincahnya Ginny menghindar, pada akhirnya Shackelbold juga berhasil mendaratkan tamparan ke arahnya.

“Ginny!” sahut Rosetta.

“Aku tidak apa-apa!”

Tanpa mematahkan temponya, Rosetta pun terus bergantian melancarkan serangan dan menangkis serangan Shackelbold.

Sementara itu tidak jauh dari mereka, Striga dan Alphonso tengah bertarung melawan Rufus. Tidak seperti Shackelbold yang bertarung dengan tangan terkepal, Rufus berkelahi dengan jari terlipat, membentuk kepalan tangannya seperti kepala ular. Dia juga lebih mengandalkan serangan rendah, membuatnya lebih lincah dan sulit ditebas oleh Striga.

Di pertarungan ini, Alphonso seringkali mengayunkan tangannya dengan lambat ke arah Striga dan Rufus yang tengah beradu. Rufus lebih sering menghindar dengan menunduk, sementara Striga lebih sering melompat tinggi menghindarinya dan lalu melepaskan tebasan seraya menerjang jatuh, namun seringkalinya Rufus bisa menghindar.

Namun rupanya kelincahan Rufus adalah senjatanya. Dia sengaja membiarkan Striga menyerang untuk menghabiskan staminanya. Begitu ia mulai merasakan tempo gerakan Striga melambat, Rufus segera mengambil kesempatan untuk menyerang.

Rufus menendang tungkai Striga, membuatnya terpeleset hingga terjatuh. Belum ingin berhenti, Rufus segera melancarkan serangan ke bawah, ke arah leher Striga. Namun Striga sendiri tidak ingin kalah. Dengan sigap ia mengarahkan pedangnya ke bawah dan segera memutar gagangnya. Sebuah ledakan kecil melontarkannya menjauh dari Rufus. Sementara tubuhnya masih terseret, dia menepak tanah dan bangkit dengan melemparkan dirinya dirinya ke udara.

“Boleh juga,” komentar Rufus yang menutupi wajahnya dengan kedua lengannya dari ledakan pedang Striga.

“Sama-sama,” balar Striga sebelum melesat maju seraya mengangkat pedangnya.

Sementara di sisi lain arena, Shackelbold mulai kewalahan menangani duo Rosetta dan Ginny. Namun di satu titik, Shackelbold menemukan pola pertarungan Rosetta dan Ginny.

Keduanya memang bergerak dengan kompak, namun setelah beberapa kali pola gerakan mereka tetap sama. Pada dasarnya Ginny akan memposisikan diri lebih dekat dengan Shackelbold, membuatnya lebih mudah diserang. Namun pada saat demikian, Ginny akan menghindar dan memindahkan posisinya ke sisi lain Shackelbold, yang mana kemudian digantikan oleh Rosetta yang mulai menyerang. Seandainya pola ini tidak berubah, Shackelbold punya kesempatan untuk menyerang.

Benar saja. Ginny memposisikan diri sangat dekat dengan Shackelbold, memancingnya menyerang. Shackelbold tentunya termakan dengan umpan Ginny dan mulai menyerangnya, namun Ginny bisa dengan mudah menghindar dan Rosetta segera mengambil alih pertarungan.

Shackelbold menyeringai. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dia melompat dengan menginjak lutut Rosetta yang digunakannya melangkah maju. Di udara, Shackelbold melepaskan tendangan ganda ke arah dada Rosetta yang seketika menghempaskannya ke belakang. Namun serangannya tidak berhenti di sana, Shackelbold yang masih melayang di udara melebarkan sikunya dan memanfaatkan gravitasi untuk meniban Ginny yang berada tidak jauh darinya.

“Rosetta! Ginny!”

Striga yang sedang bertarung tidak jauh dari mereka melihat kedua rekannya dilumpuhkan. Segera ia pun melepaskan serangan pembuat jarak dan segera mengejar Shackelbold.

“Mau ke mana, kau?! Aeba Midgard, LEVI!!”

Cahaya terlepas dari tattoo summoner Rufus yang berada di punggung tangannya, di udara kilatan cahaya itu terhimpun dan bergabung menjadi satu—timbunan cahaya menjadi semakin besar hingga sosoknya menjadi utuh. Cahaya itu pecah, seekor ular raksasa muncul dari dalamnya, segera ular itu menghujamkan moncongnya ke arah Striga yang sedang berlari ke arah Shackelbold.

Namun saat serangan Levi—beast summon Rufus—mencapai Striga, Alphonso tiba-tiba muncul di belakang Striga, menghalangi jalur serangan Levi. Namun Levi juga tidak menyayangkannya. Begitu menabrak Alphonso, Levi segera melilitkan badannya ke tubuh Alphonso dengan sangat erat, hingga Alphonso pun tumbang.

“Menyingkir dari Ginny!” seru Striga seraya menebaskan pedangnya ke arah Shackelbold yang masih menindih Ginny.

Shackelbold dengan sigap melompat menghindari tebasan pedang Striga. Dibandingkan dengan Rufus, Shackelbold memang lebih lambat. Karena itulah sambil menghindari serangan Striga, Shackelbold segera menunjukkan tattoo summoner di lengannya dan merapalkan mantra summoning.

“Aegis avernum, Serafall!”

Seekor singa putih melompat keluar dari tattoo summoner Shackelbold dan menerjang Striga.

Meski tubuhnya masih sakit, namun Ginny perlahan bangkit. Dia lalu berjalan mendekati Rosetta dan membantunya bangun.

“Kak Rosetta tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Lawan kita bagaimana?”

“Aku juga tidak apa-apa. Kak Striga sedang menanganinya.”

“Kalian jangan santai-santai saja!!” tiba-tiba sebuah seruan memecahkan pembicaraan Ginny dan Rosetta.

“Kak Rosetta! Awas!”

Ginny mendorong tubuh Rosetta seraya melompat menjauh dari sebuah tangan yang menerjang ke arah mereka. Pemilik tangan itu adalah Rufus. Rosetta bangkit dengan melentingkan badannya ke atas bak aktor Kung Fu dan segera melancarkan serangan balasan.

Sementara itu, Ginny memfokuskan diri dengan memberi arahan pada Alphonso. Kecepatan gerak Alphonso pun meningkat drastis di bawah arahan Ginny. Ginny memberi instruksi untuk menangkap kepala Levi, dan begitu Kepala Levi tertangkap, ular raksasa itu kontan mendesis meronta-ronta minta dilepaskan.

Memanfaatkan desisan Levi, Alphonso menangkap rahang Levi dan membukanya lebar-lebar hingga rahangnya patah. Tidak bisa menutup mulutnya lagi, Levi pun harus rela tercekokkan tinju Alphonso ke tenggorokannya.

“AL! ROCKET PUNCH!”

BOOM!!

Seketika suara ledakan terdengar dari tangan Alphonso yang berada di dalam mulut Levi. Asap mengepul dari mulut Levi. Namun itu barulah awalnya. Sekali lagi ledakan terdengar, kali ini ledakan dari propulsi lengan Alphonso yang meroket menembus badan Levi.

“LEVI!!”

Rufus yang masih bertarung dengan Rosetta kehilangan fokus melihat beast summonnya bolong berlubang dan mati. Rosetta memanfaatkan momen ini dengan mengambil relic summon yang ia simpan di sakunya dan melemparnya ke arah Rufus.

“Striga!!”

Rosetta memanggil Striga seraya melemparkan batu spesial miliknya melewati samping kepala Rufus. Sementara Striga terpancing melihat batu yang dilemparkan Rosetta dan Rufus yang lengah, Rosetta pun berlari ke arah Rufus. Rosetta lalu melompat dan menjepit leher Rufus dengan kedua pahanya. Dia menjatuhkan dirinya seraya mengayun jatuh, tidak kuat menahan momentum ayunan badan Rosetta, Rufus pun mau tak mau harus mengikuti arah Rosetta menjatuhkan diri. Aksi serangan akrobatik Rosetta ia akhiri dengan membantingkan kepala Rufus dengan keras ke tanah.

Sementara itu, Striga yang tahu batu apa yang dilemparkan Rosetta ke arahnya itu segera mengambil jarak. Melihat lawannya membuat jarak, Shackelbold juga mengambil ancang-ancang mundur. Namun reaksi itu sudah diprediksi oleh Striga. Striga berhenti dan mengarahkan ujung gagang pedangnya ke arah jatuhnya batu, lalu ia memutar gagang pedangnya sedikit saja. Ledakan kecil tercipta, batu yang dilempar Rosetta berubah arah, tepat mengarah ke wajah Shackelbold. Shackelbold yang terjebak tidak bisa menghindar pun mau tak mau harus menerima batu milik Rosetta mendarat di wajahnya.

“AHH!!! MATAKU!!!” Jerit Shackelbold kesakitan memegangi wajahnya.

“AHAHAHAHAH!” sosok wanita yang duduk di tangga tertawa histeris seraya berdiri. Trio tim 12 sudah benar-benar melupakan keberadaannya. “Hebat, hebat... Kalian benar-benar tangguh.”

“TUNGGU DULU, NEUE! AKU BELUM SELESAI!!”

Di luar dugaan, ternyata Shackelbold masih bisa berdiri setelah tersentuh batu bertuah milik Rosetta.

“SERAFALL!! SABRESONIC ROAR!!”

Mendengar perintah tuannya, singa putih summonan Shackelbold menghentakkan kaki-kaki depannya ke tanah dan mulai mengaum. Aumannya bukan auman biasa, suara aumannya itu menciptakan gelombang yang meretakkan tanah. Retakannya pun bukan retakan biasa, melainkan retakan yang dihasilkan oleh tebasan-tebasan semu.

Jangkauan auman Serafall semakin besar, semakin mendekati tempat di mana trio tim 12 berdiri. Namun saat auman singa putih itu hampir mengenai Rosetta yang berdiri paling dekat, tiba-tiba sebuah peluru cahaya melesat ke arah Shackelbold dan menembus pundaknya. Serangan itu sekaligus meredakan auman Serafall.

“A— Apa..?!” tanya Shackelbold keheranan, apalagi karena saat ini dia sedang buta akibat terkena batu Rosetta.

“Kau berisik, tahu.”

“Neue!! Kau rupanya—— ABBABAJHH”

Sebuah bola cahaya putih melayang di atas tangan Neue yang berdiri di atas tangga. Bola cahaya itu menembakkan rentetan peluru-peluru cahaya kecil ke arah Shackelbold. Dia hanya bisa pasrah menerima serangan bertubi-tubi yang diarahkan padanya dan beast summonnya. Setelah beberapa detik menerima serangan itu, Shackelbold dan Serafall pun tumbang bersimbah darah.

Penunjuk waktu di langit menunjukkan 08:24.

/014/

Sadis. Neue baru saja menembak mati rekannya. Mungkin dibandingkan dengan semua penjaga yang sudah mereka hadapi sejauh ini, wanita ini adalah yang paling buas.

“Tidak usah kaget begitu. Aku memang berbeda dari mereka-mereka yang sudah kalian hadapi sejauh ini. Aku ingin tahu, apa kalian bisa berdiri di bawah hujan tanpa menjadi basah?” ujarnya seraya melemparkan bola cahaya di tangannya ke udara. “Kalau tidak bisa, berarti kalian akan mati di sini!!”

DRRRRRRRRRRRR

Rentetan peluru dalam jumlah besar berpencar ke segala arah, berpusat dari bola cahaya itu. Meski demikian, tembakannya tidak seragam. Kecepatannya berbeda-beda. Selain itu, jumlahnya yang sangat banyak membuat Rosetta, Ginny, dan Striga sulit memprediksi arah tembakan bola cahaya itu.

“Kalian tahu siapa aku?! Aku Neue! Sang ratu peluru cahaya! Kekuatanku ditakuti Metronord hingga batas langitnya!! Akulah yang sudah membantai 10 ribu prajurit di perang dua tahun lalu! Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?!”

Peluru-peluru cahaya mulai mendarat di sekitar trio tim 12. Alphonso segera memunggungi Neue dan membuatkan tempat berteduh untuk ketiganya. Namun Striga memilih lain, dia justru berlari mendekat ke arah tangga sambil menangkis peluru-peluru cahaya yang datang ke arahnya menggunakan pedangnya.

“Hoo! Kau hebat juga bisa melihat arah peluruku! Bagaimana kalau begini?!”

Bola cahaya milik Neue kini melayang berputar-putar di sekeliling Neue sambil masih memuntahkan ratusan—bahkan ribuan—peluru cahaya warna-warni. Karena sumber peluru yang tidak statis, peluru yang datang pun menjadi jauh lebih acak lagi. Pola serangan yang terlalu acak ini memaksa Striga untuk mundur dan bergabung dengan kedua rekannya.

“Tapi sepertinya dengan Robot Tornado sekalipun, aku tidak akan bisa menghalau peluru-peluru ini. Oh, Kak Striga.”

Saat dia sampai di bawah Alphonso, Striga menemukan Ginny dan Rosetta sedang menyusun rencana tanpa dirinya.

“Kau ini ceroboh sekali, asal maju begitu,” komentar Rosetta.

“Maaf, tapi aku kenal serangan ini.”

“Hah?”

“Beberapa tahun lalu, saat aku masih tinggal di Timur, aku pernah berburu dengan seseorang yang kuanggap seperti kakak sendiri. Namun tiba-tiba kami disergap serombongan orang, dan aku ingat dia menjadi korban serangan yang sama seperti serangan ini.”

“Eh? Jadi—”

“Aku tidak yakin, tapi aku akan sangat puas jika bisa menghabisi wanita itu dengan tanganku sendiri.”

“Oke, jadi kau butuh bantuan bagaimana?” tanya Rosetta.

“Tidak. Kalian fokus saja merebut bendera. Biar aku yang mengalihkan perhatiannya.”

“Tapi—”

“Tidak ada diskusi untuk ini. Ginny, perintahkan Alphonso untuk berlari di depan kalian untuk melindungi kalian dari peluru-peluru. Jangan berhenti sampai kalian merebut bendera itu, waktu kita tinggal sedikit.”

“Tunggu dulu, Kak Stri—”

Tanpa mengindahkan panggilan rekan-rekannya, Striga segera berlari keluar dari rundungan Alphonso.

“Sekarang!!” perintah Striga.

Di bawah hujan air dan hujan peluru cahaya, Striga berdiri. Meski badannya basah terkena hujan, namun ia bisa menghindari rentetan peluru-peluru cahaya yang jatuh mengiringi hujan. Melihat tekad Striga yang sudah bulat, sepertinya tidak ada gunanya jika Ginny atau Rosetta mencoba menghentikannya. Mau tidak mau, mereka pun mengikuti perintah Striga.

“Hey, kau!” panggil Striga dengan nada dingin. “Apa kau pernah datang ke Timur?!”

Sementara Alphonso mulai bergerak dan Rosetta dan Ginny berjalan di bawah bayangannya, Striga hanya berdiri di bawah rentetan peluru cahaya, bergerak seperlunya saat peluru-peluru akan melesat melewatinya untuk menghindar.

“Timur? Entahlah, aku sudah terlalu sering ke mana-mana.”

“Kalau begitu, berapa banyak orang yang sudah kau bunuh dengan summonmu ini?”

“Apa kau ingat berapa banyak roti yang pernah kau makan?”

Striga tidak bisa menahan diri lagi. Dia menghunuskan pedangnya dengan gagang setinggi lutut dan segera memutarkan gagang pedangnya. Ledakan yang tercipta membawanya terbang ke arah Neue. Saat terbang, ia membiarkan peluru-peluru cahaya menggores tubuhnya sementara ia memposisikan gagang pedangnya di bawah tubuhnya dan kembali melepaskan ledakan.

Ledakan kali ini membuat Striga berputar-putar dalam lompatannya. Tidak berhenti sampai di situ, setiap pedangnya mencapai posisi yang sama, Striga kembali melepaskan ledakan, membuat perputaran tubuhnya semakin cepat. Hingga Striga kini tampak seperti roda gergaji yang siap menebas apapun yang berada di jalannya. Bahkan peluru-peluru cahaya pun memantul saat mengenai pedang Striga.

“Kau kira kau bisa mengalahkanku, hah?!”

Setiap summon punya kelemahannya sendiri-sendiri, dan salah satu kelemahan Neue adalah tidak bisa bergerak saat menciptakan hujan peluru. Meski demikian, dia masih yakin akan bisa menghentikan Striga. Dia mengurangi jumlah peluru yang ia sebarkan dan memfokuskannya ke arah Striga. Kini Striga dihujani peluru dengah jumlah tiga kali lipat dari sebelumnya. Bahkan membuat lompatannya melambat.

Striga terus menciptakan ledakan, menjaga momentum rotasi dirinya dan kecepatan terbangnya hingga ratusan peluru yang diarahkannya tidak sanggup menghentikannya lagi. Striga kini melesat tepat ke arah Neue.

Melihat maut melesat ke arahnya, Neue menghentikan serangannya dan segera mencoba menghindar. Namun terlambat, tidak adanya peluru yang menghentikannya membuat kecepatan Striga meningkat.

“UAAGGHHHH!!”

Neue menjerit kesakitan saat Striga menebas dada, leher kiri, dan punggung Neue sekaligus. Luka ini sangat fatal, Neue yang tidak kuat menahan serangan pun lumpuh seketika.

Namun masih ada masalah. Striga tidak bisa berhenti. Meski ia bisa menghentikan perputaran tubuhnya, namun ia tidak bisa menghentikan laju terbangnya. Ia pun harus rela menabrak tembok pualam ujung labirin yang berada di belakang Neue.

“Striga!!”

Sementara Ginny dan Alphonso bertopang pundak—Ginny di atas Alphonso—mengambil bendera, Rosetta segera menghampiri Striga yang tidak sadarkan diri setelah menabrak dinding. Dengan menempelkan ujung lancip batunya ke pundak Striga, Rosetta berharap Striga tidak apa-apa.

Berbarengan dengan Ginny yang meraih bendera, Striga terbangun. Melihat itu, Rosetta pun sedikit tersenyum. Meski badannya masih nyeri, Striga mencoba berdiri sementara Rosetta membantunya. Rosetta dan Striga pun berjalan mendekati Ginny yang baru saja melompat turun dari pundak Alphonso.

Ketiganya lalu bersama-sama memegang ujung bendera, membiarkan bendera itu berkibar di tangan mereka. Diiringi dengan sorak sorai stadium yang tersentuh atas pertarungan yang mereka bawakan.

fsc

Facebook comments

No comments:

Post a Comment