Jurang Penyesalan
"Aku sudah lelah..."
"Aku tidak peduli lagi..."
"Aku hanya ingin mati!"
Angin tinggi menderu kencang di sekitarku, desirannya begitu kencang hingga nyaris membuatku tuli akan keadaan di sekitarku. Aku berdiri di pintu yang menghubungkanku pada atap sebuah gedung berlantai 20, seandainya aku ingin memuaskan keinginan terakhirku, tempat ini adalah tempat yang tepat.
Rasa takut aku akui menguasai badanku, namun sama sekali tidak ada keraguan di hatiku untuk mengakhiri hidupku. Tidak ada gunanya aku mempertahankan hidupku di dunia ini, semua orang yang aku kenal membenciku karena diriku ini sangat tidak berguna.
Kawan-kawanku meninggalkanku semenjak aku kehilangan pekerjaanku, kedua orangtuaku sudah tidak ada, bahkan orang yang aku sukai pernah menyuruhku untuk mati. Tidak akan ada yang merindukanku jika aku meninggalkan dunia ini.
Kuhentakkan langkah pertamaku dari pintu tempatku memasuki atap gedung ini. Perasaanku benar-benar bercampur aduk di sini; marah, sedih, frustasi, jijik, benci, takut, cemas, rasa bersalah, dan kesepian. Meskipun aku ingin mati, namun aku tidak ingin menderita, aku memilih mencari kematian yang singkat. Orang lain mungkin akan memilih untuk menembak kepalanya sendiri dengan pistol, tapi dari mana aku bisa dapat senjata api? Karena itulah aku memilih terjun dari atap gedung ini, biarlah aku merepotkan orang-orang di sekitarku untuk terakhir kalinya.
Mereka bilang hidup adalah anugrah, namun apa gunanya hidup jika kita tidak bahagia menjalaninya? Sebut aku egois, tidak menghargai hadiah pertama yang diberikan kedua orangtuaku, namun inilah kenyataannya. Aku sudah menyia-nyiakan waktu terlalu lama. Sekarang juga aku ingin semuanya berakhir.
Terik matahari yang menyengat seakan menjadi lampu sorot panggung dimana tarian dramatisku yang disebut kehidupan akan segera berakhir, suara angin yang dihiasi suara klakson lalu lintas jauh di bawah sana adalah crescendo musik yang mengiringi puncak kehidupanku.
Aku tidak butuh apa-apa lagi tidak ada yang perlu tahu arti kepergianku, tidak ada rangkaian kata-kata yang perlu aku tinggalkan sebagai pesan. Hanya akan ada darah tumpah dari tubuhku yang rapuh ini ke atas bumi yang akan menjadi pesan terakhirku, pesan yang memberitahukan siapapun yang melihatnya bahwa aku sudah muak dengan dunia ini.
Di sinilah aku sekarang, tepat hanya beberapa langkah dari tepi atap gedung ini. Dari sini manusia-manusia nista yang berpura-pura melupakan bahwa pada akhirnya kita semua akan berakhir sama tampak seperti semut yang beradu dengan waktu, menunggu sebuah jari raksasa menjejak mereka dari angkasa.
Meski demikian, pemandangan dari sini begitu indah. Dari sini aku bisa melihat jelas lekukan hijau, coklat, dan perak di kejauhan yang orang-orang sebut dengan cakrawala. Pemandangan ini membuatku berpikir, seberapa banyak orang-orang yang bisa menikmati pemandangan seperti ini dari bawah sana? Pandangan mereka di bawah sana sudahlah pasti terhalang oleh bangunan-bangunan hasil jahitan tangan-tangan manusia, benar-benar pemandangan yang memuakkan.
Aku pejamkan kedua mataku, menghapus semua pemikiran yang tidak pantas ada di kepalaku saat ini. Kutelan ludahku sambil kembali membuka mataku untuk menghilangkan keraguan dan membuatku yakin akan keinginan terakhirku. Aku pikirkan kembali alasan kenapa aku berada di sini; rasa panas dari semua kebencian, rasa muak, dan kemarahan yang ada di dalam hatiku.
Kuangkat kaki kananku menanjaki tepian pengaman atap gedung ini, angin tinggi yang sedari tadi menderu keras di telingaku sekarang mendorongku ke depan dan ke belakang. Seakan separuh dunia ini ingin aku mati dan separuhnya lagi ingin mencegahku jatuh. Dorongan angin dan tekadku untuk mati membuat kakiku lemas, tidak terasa badanku mulai miring ke depan. Sudah terlambat jika aku ingin mendapatkan hidupku kembali.
Kurasakan maut menarikku ke bawah, angin yang tadi menerpaku dari depan sekarang menerpaku dari bawah, seakan angin yang tadi mencegahku jatuh ingin menolongku. Namun apa daya angin-angin yang tak bertangan itu? Sudah tidak ada yang bisa menolongku sekarang, bahkan aku tidak mau menolong diriku sendiri karena aku sudah tidak punya keinginan untuk hidup lagi.
Saking cepatnya aku jatuh, aku coba mengalihkan perhatianku pada kaca-kaca di sisi gedung ini yang memantulkan sosokku yang sedang menunjamkan kepalanya ke permukaan trotoar jalan yang dipavement masih sedikit jauh di bawah.
Mataku tidak hanya terpaku pada refleksi sosok badanku, namun juga sosok-sosok lain yang berada di balik kaca-kaca itu. Mereka begitu sibuk dengan pekerjaan mereka, mereka tidak menyadari kalau aku sempat lewat. Yang membuatku kesal dari mereka adalah meskipun mereka bisa menikmati pemandangan cakrawala yang sempat kunikmati beberapa saat lalu, mereka lebih memilih untuk tenggelam ke dalam kesibukan duniawi mereka.
Semakin dekat wajahku dengan permukaan tanah, semakin besar rasa takut yang kurasakan. Aku akan lepas dari semua rasa cemas, rasa bersalah, dan rasa sedih yang sekarang kurasakan. Di balik kematian yang menungguku, aku akan bebas. Namun satu hal membuatku penasaran, "bagaimana dengan kesepian yang kurasakan sekarang?"
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tahu bagaimana rasanya berada di balik kematian. Tidak ada jaminan kalau aku akan bebas, namun setidaknya aku bisa lari dari kehidupanku yang memuakkan ini. Pilihanku tidak salah, saat aku menyentuh permukaan tanah nanti, paling tidak tengkorakku akan hancur, otakku akan pecah, darah yang mengalir di nadiku akan muncrat keluar, dan jantungku akan berhenti. Aku tidak akan merasakan apa-apa, aku akan langsung mati. Semakin dekat wajahku dengan permukaan tanah, semakin bisa aku menghargai, bahwa kematian itu indah.
"Gelap..." ujarku dalam hati, "apa tadi aku tidak sengaja menutup mataku?"
Aku yakin jarakku dengan tanah tadi sudah sangat dekat. Tapi ada sesuatu yang aneh, aku masih merasakan angin kencang menerpa kepalaku dengan keras dari bawah.
"Aku masih jatuh?"
Aku sadari kalau beberapa saat yang lalu aku memang tidak sengaja menutup mataku, perlahan aku angkat kedua alisku untuk membuka mataku.
"ASTAGA!" seruku dalam hati.
Seharusnya aku sudah mati, seharusnya aku sudah bebas dari penderitaanku, namun sekarang aku malah disuguhi dengan pemandangan yang mengerikan. Sekarang aku berada di sebuah ruang hitam, angin kencang menerpa wajahku karena aku masih terjatuh ke dalam lubang hitam yang tak tampak di mana dasarnya.
Aku tidak sendirian, di sekitarku ada banyak orang yang senasib denganku, mereka juga sedang jatuh ke lubang hitam tak berujung jauh di bawah. Namun mereka tampak jauh lebih menderita, aku melihat ada seorang berbadan kekar dan tegap sampai menangis tidak bersuara, ada juga wanita yang sudah tak sanggup lagi berteriak karena suaranya sudah habis dan lidahnya sudah kering, ada juga sepasang kekasih yang berpelukan sangat erat sampai cengkraman di badan satu sama lain mengeluarkan darah.
"Tempat apa ini?!"
Dadaku mulai sesak, semakin lama aku berada di sini, semakin sulit untuk bernafas. Angin yang berderu kencang menahan jatuhku membuatku sulit menghirup udara. Saking sesaknya, sampai aku membuka mulutku lebar-lebar seperti korban asma.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Dengan nafasku yang terakhir, aku mencoba untuk berteriak sekencang-kencangnya sampai suaraku serak dan nyaris habis. Suara teriakanku tidak bergema, namun bersahut-sahutan dengan teriakan orang-orang lain yang juga berjatuhan di atas, di bawah, dan di sampingku. Sebesar itukah tempat ini? Ataukah bahkan tempat ini sama sekali tidak memiliki batas?
"Ampuni aku! Ampuni hambamu ini yang tidak menghargai anugrah kehidupan!"
Aku coba sedikit berdoa dan kupejamkan mataku, sambil berharap saat aku membukanya kembali semua ini tidak terjadi. Namun alas, semuanya masih sama, aku dan orang-orang di sekitarku masih terjun sangat kencang bagaikan bintang jatuh.
Dadaku sesak, aku tidak bisa bernafas sama sekali, namun aku belum mati. Penderitaan ini jauh lebih menyakitkan daripada apa yang aku rasakan di dunia sana. Terlebih lagi, apa penderitaanku ini tidak akan pernah berakhir?
Semakin dalam aku tertelan dan jatuh, semakin aku melupakan perasaan-perasaan yang menyebabkanku terjerumus ke tempat ini. Semua kemarahan, kesedihan, frustasi, jijik, kebencian, ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, hingga kesepian yang dulu kurasakan sirna sudah. Namun semua perasaan itu kini sudah kalah, berubah dan menghimpun menjadi sebuah perasaan baru, perasaan yang selalu datang setelah semuanya terlambat.
...penyesalan.
fsc
Facebook comments

No comments:

Post a Comment